Welcome to my lovely blog ^_^

I named this blog with 'Queen of Rain', because it reminds me of Roxette's song that has the same title

But I also have another reason, it's because I like rainy season ^^

Sometimes, I feel sad when I saw the rain...

It brings me back to lots of memories...

I also think that sometimes at those rainy times, it feels like such a romantic moment ^_~

Rabu, 21 Agustus 2013

Between Two Choices Bab 3

 Bab 3
Awal Pertemuan 


Lamunannya terhenti begitu mendengar teriakan seorang penjual minuman di kereta yang memecah kesunyian. "Universitas Idaman! Udah sampai! Ayo... ayo... yang mau turun... yang mau kuliah..." 
 
Vivin berdesakkan dengan beberapa orang yang juga turun di stasiun itu. Ternyata begitu banyaknya mahasiswa Universitas Idaman yang pergi kuliah dengan naik kereta.

Sampai di pintu kereta, penumpang yang turun makin berjubel dan Vivin terdorong oleh orang yang berdiri tepat di belakangnya. Vivin pun nggak sengaja mendorong orang yang berada di depannya. Ups... mereka berdua keluar dari kereta dengan susah payah dan hampir jatuh.

"Maaf ya..." ujar Vivin sambil menunduk karena takut orang itu akan marah. 

"Aduh... nggak apa-apa..." sahut orang itu yang ternyata seorang cowok. 

Cowok itu menepuk-nepuk celananya yang sempat mendarat di trotoar stasiun. Nampak beberapa debu menempel di celananya. "Menyebalkan!" ujarnya kesal.

         Vivin merasa nggak enak. Ia terus berdiri di tempatnya sambil memperhatikan cowok itu. "Maaf..." katanya sekali lagi. 

       "Gue udah bilang, nggak apa-apa," ujarnya lagi sambil mendongakkan kepalanya ke arah Vivin. Mungkin ia berpikir, Ini cewek khawatiran banget sih!

 Vivin merasa canggung, lalu berpamitan pada cowok itu untuk duluan pergi menuju kampus. Tapi setelah ia meninggalkan cowok itu, Vivin merasa ada yang aneh dengan cowok itu. Mukanya mirip seseorang. Siapa ya? 

 Vivin mempercepat langkahnya sambil terus berpikir mirip siapa gerangan cowok tadi. Tapi semakin keras ia berpikir, semakin gagal usahanya untuk mengingat.

 Akhirnya sampailah Vivin di kampus idamannya. Karena mahasiswa baru, ia dan teman-teman senasibnya harus memulai segalanya dengan hati-hati. Katanya sih akan ada semacam penyambutan terhadap mahasiswa baru. Tapi kayaknya istilah penyambutan itu berarti perploncoan deh, karena itulah gosip yang dia dengar dari seniornya. 

 Hui... mampus deh gue! Mesti ngalamin kayak ginian lagi tiap jadi murid baru, keluh Vivin dalam hati. 

Hari ini, mahasiswa baru masih diberi kesempatan untuk santai (sebelum 'dibantai' esok hari tentunya ^_^). Mereka hanya melihat-lihat keadaan kampus selama satu hari itu. 

 Vivin berkenalan dengan dua orang teman seperjuangan. Mereka adalah Indri dan Thessa. Meski sudah berkenalan dengan yang lain, tapi Vivin merasa lebih 'sreg' bersama dua cewek ini. Mereka selalu bersama. Ke kantin, ke ruang kuliah, belajar bareng, main  bareng, nyanyi-nyanyi bareng, bahkan ups... pipis pun bareng (hehehe... cuma tentunya di bilik yang berbeda).

 Seperti yang saat ini mereka lakukan (lagi-lagi bertiga). Mereka sedang mencari "mangsa" untuk di-CCP-in. Tahu CCP? Itu tuh, "Curi-Curi Pandang". Mereka melongok ke bawah dari sebuah jendela besar yang terletak di lantai dua. Siapa saja yang akan masuk gedung yang mereka tempati sekarang, pasti akan terlihat dari jendela itu. 


“Eh, lihat… itu tetangga gue, kak Adi!” pekik Thessa sambil menunjuk satu di antara dua cowok yang berjalan bersama menuju gedung tersebut, diiringi seorang cewek cantik.

Ketiga orang itu berhenti tepat saat pandangan Vivin tertuju pada mereka. Sepertinya mereka sibuk dengan tumpukan kertas di tangan masing-masing.

 “Kak Adi…!” panggil Thessa setengah berteriak. 

 Yang dipanggil langsung menoleh ke arah jendela, dimana Vivin dan teman-temannya ‘bertengger’ di jendela (bertengger? Burung kalee… ^_^ )

 “Hai!” sapa kak Adi ramah. Kontan dua orang yang bersamanya ikut menoleh dan mendongakkan kepalanya ke atas.

 Oou… ternyata cowok yang satu lagi adalah cowok yang tadi terdorong oleh Vivin di kereta. Vivin kaget setengah mati! Ia tak sempat menyembunyikan wajahnya. Yang terjadi justru sebaliknya, ia bertemu mata dengan orang itu. Atau lebih tepatnya, “berpandangan”. Atau bahkan lebih ‘parah’(?) “bertatapan”! Dan kejadian itu cukup lama (selama Thessa mengajak ngobrol kak Adi) --> kejadian ini bagai adegan percakapan di balkon antara Romeo dan Juliet  ^_^

Sampai akhirnya… “Daaaaah!!” seru Thessa riang sambil melambaikan tangannya pada kak Adi setelah selesai bercakap ala Romeo – Juliet tadi. 

Kak Adi balas melambai dan kemudian berlalu bersama cowok tadi. Sedangkan cewek cantik yang bersama mereka, sudah lebih dulu masuk ke gedung (mungkin dia BeTe nungguin Adi ngobrol ^_^ )

         “Gimana? Kak Adi lucu kan?” tanya Thessa bersemangat.

“He-eh… ” Indri mengangguk sambil tersenyum. 
 
“Vin, kok diem aja?” Thessa menyenggol Vivin.
          
 “Ooh… loe pasti merhati’in yang satunya ya?” goda Indri. Terbersit kilatan nakal di matanya.



“Nggak… ” sangkal Vivin. Tapi kayaknya wajahnya yang merah nunjukkin kalau dia nggak bisa bohong.

          “Gue denger, dia itu idola,” kata Thessa.
 
“Iya… Selain cakep, dia juga pinter dan aktif dalam berbagai kegiatan,” timpal Indri yang ternyata punya banyak informasi.

Mendengar itu, Thessa dan Vivin saling melirik nakal padanya.

       “Eit… gue nggak suka loh,” kelit Indri sambil manyun. “Lagipula, gue kan udah ada Yan,” ujarnya sambi tersenyum malu menyebutkan nama pacarnya itu.
 
Setibanya di rumah, saat di kamarnya… Vivin masih berpikir keras. Dia mirip… mirip… zzzzz… Karena ngantuk berat, Vivin pun tertidur.


*   *   *
         
Paginya, Vivin bangun kesiangan.

“Wah… gawat!” pekiknya. “Gara-gara gue mikirin dia semalam. Kenapa gue begitu bodoh?! Dia itu kan mirip banget sama Indra!”

Sebel juga! Ia berusaha melupakan Indra (ini terbukti dengan sulitnya ia mengingat mirip siapa cowok itu). Tapi eh… ia malah ketemu dengan orang yang sama dan sebangun (kongruen gitu…) à baru deh istilah ‘matematika’nya keluar, padahal dia paling nggak bisa pelajaran yang satu ini. Lagipula, kenapa juga dia harus nyama’in wajah orang sama sifat bidang/bangun datar di matematika  ^_^

Kok bisa mirip sih?  Vivin nggak habis pikir, Bagaimana bisa ada dua orang yang begitu mirip? Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin ada benarnya juga. Ia pernah dengar, kalau tiap orang masing-masing punya “kembaran” di dunia sebanyak 7 orang.


Berarti Vivin juga punya kembaran dong (?). Cuma kayaknya dia nggak pernah ketemu dengan kembarannya deh. Well… mungkin pernah, tapi Vivin nggak menyadarinya, karena mesti bercermin dulu untuk melihat dirinya sendiri dan membandingkan dengan “kembaran” yang misalnya saja ditemuinya di jalan. Tapi, mana kepikiran sih dia sampai segitunya?  ^_^
Karena kesiangan, Vivin jadi terlambat sampai kampus. Hihihi… sebenernya ini ‘penyakit’nya dari dulu : tukang telat. Sampai-sampai Vita (teman SMA-nya) ngasih julukan “Miss Late”  buat Vivin alias gadis yang suka terlambat.
Alhasil, saat ini Vivin ditahan oleh seniornya dan tentunya ia harus siap dikerja’in. Vivin dan beberapa anak yang terlambat lainnya dikumpulkan menjadi satu barisan.
           
“Bagus! Kalian bisa-bisanya terlambat. Udah dibilang, datang sebelum jam 6 pagi. Apa kalian semua nggak denger? Kupingnya ditaro di mana!” teriak seorang cewek yang nampaknya bertugas menghukum dan membentak para pelanggar peraturan ‘penyambutan’.
           
Vivin gemetar. Ia menundukkan kepalanya. Begitu juga mahasiswa baru lainnya yang terlambat.
          
 “Kalian masing-masing akan diberi cap pada name tag kalian! Tanda bahwa kalian telah berbuat kesalahan!” teriak senior galak itu lagi.
           
Gile… kayaknya lebih galak dia daripada papa gue!  keluh Vivin yang punya papa galak, meski memang tetap sayang padanya ^_^
           
Name tag adalah semacam papan nama dari potongan kardus/gabus yang ditulisi nama dan jurusan masing-masing, kemudian diberi tali. Lalu potongan yang sudah ditulisi dan diberi tali tadi digantungkan di leher, sehingga name tag tersebut tepat berada di depan dada.


Vivin masih menunduk, ketika seorang senior cowok memberi cap ‘kesalahan’ pada name tag-nya.



“Nggak usah menunduk! Itu nggak akan meringankan hukuman,” ujar cowok itu sinis. Ia malah menambah satu cap kesalahan lagi, hingga membuat Vivin terkejut.

           
Gue kan baru salah satu kali!  pekik Vivin dalam hati. Karena menurut peraturan, jika makin banyak cap kesalahan, maka hukuman akan makin bertambah.
           
Vivin mengangkat kepalanya hendak memprotes. Tapi saat melihat siapa yang ada di hadapannya, mendadak lidahnya langsung kelu. Cowok itu!  Vivin langsung lemas.
           
“Ada apa? Mau protes?” tanya cowok itu santai.
           
“Ayo, semua lari keliling kampus!” Tiba-tiba teriakan senior cewek yang bertampang judes tadi mengejutkan Vivin, hingga kembali berdiri tegap tanpa sempat menanggapi cowok tadi.
           
Dengan bergumam sebal, Vivin dan seluruh mahasiswa baru yang telat itu, lari mengelilingi kampus yang lumayan ‘guede’ (saking gede-nya) tersebut.
           
Sampai menjelang pulang pun, Vivin dan teman-teman masih dikerja’in juga. Bahkan Vivin yang dapat 2 cap, nggak boleh pulang dulu.
           
“Gue pinjem dia,” tukas cowok itu tegas pada teman-temannya sambil menarik Vivin.
           
“Ciee… mau diberi hukuman “khusus” ya?” goda teman-temannya sambil bersuit-suit ribut.
           
“Cerewet kalian!” serunya garang seraya mengacungkan tinjunya.
           
Vivin bener-bener bingung. Mau apa gerangan cowok menyebalkan ini? pikirnya kesal.


Cowok itu membawa Vivin ke sebuah ruang kuliah. Ruangan itu adalah ruang yang sering Vivin gunakan bersama Indri dan Thessa untuk melihat-lihat CCP-an kalau sedang tidak dipakai untuk kuliah.

Ruangan itu lengang, karena hanya mereka berdua yang ada di situ. Semua ruang kuliah pun sudah kosong, sebab semua mahasiswa sudah pulang.

          “Masuk!” suruh cowok itu pada Vivin yang masih berdiri di luar kelas.
          
 Vivin enggan. Ia malah ketakutan dan diam seperti patung.
           
“Kenapa? Takut sama gue?” tanyanya ketus. “Jangan mikir yang nggak-nggak deh,” ujarnya BeTe.
           
“Siapa yang mikir begitu?” tukas Vivin nggak kalah BeTe. Tapi wajah dan gelagatnya emang nggak bisa nipu, karena sumpah ‘abis’ Vivin takut banget!
           
Namun, perlahan Vivin melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu.
           
“Duduk!” perintah cowok itu lagi.
           
Vivin duduk. Ia diam saja, tapi mulutnya manyun seperti ikan mas koki.
           
“Eh, cemberut lagi! Loe harus nurut sama senior, tahu!” bentak cowok itu.
           
Vivin hanya bisa mengunci mulutnya erat-erat. Padahal ia ingin berteriak, Betapa menyebalkannya cowok ini!  Tapi, pada kenyataannya ia hanya bisa duduk diam sambil terus menunduk.
           
Cowok itu menarik kursi di depan Vivin dan membaliknya, sehingga sekarang posisi duduknya berhadapan dengan Vivin. Dia duduk sambil membuka-buka buku yang dibawa Vivin sejak tadi. Buku itu adalah buku ‘khusus’ yang dipegang mahasiswa baru untuk mengumpulkan tanda tangan senior.
           
Vivin masih saja menunduk.
          
 “Heh, ngapain nunduk? Cari uang di bawah?!” tanyanya dengan nada suara yang amat menyebalkan, hingga Vivin ingin sekali menimpuknya.


Dengan tampang masih cemberut, Vivin mengangkat kepalanya. Tapi ia tetap nggak berani memandang cowok itu.

“Hmm…” Cowok itu bergumam sambil terus membuka-buka buku Vivin. Terlihat oleh Vivin, ia sedang mengamati data-data Vivin yang ada di lembar pertama buku itu.

“20 Oktober?” Ia mengernyit. “Zodiak-loe Libra ya?” tanyanya acuh tak acuh.
           
“Eh… i… iya…” jawab Vivin gugup.



“Tahu, nggak… Orang yang ber-zodiak Libra itu payah,” ujarnya lagi. “Mereka selalu bimbang dalam segala hal,” katanya sambil tersenyum kecut.
          
 Ih! Sok tahu banget sih nih orang! gerutu Vivin dalam hati. Tapi Vivin diam aja, nggak berani ngomong apapun. Dibiarkannya tuh cowok masih mengamati data-datanya.
          
 “Cita-cita?” Ia nampak terkejut. “Kenapa kosong?” Ia menunjuk garis strip yang dibuat Vivin pada tempat kosong di sebelah tanda ‘titik dua’ di barisan kolom Cita-cita. “Loe nggak punya cita-cita?” tanyanya heran.
           
“Saya bingung,” jawab Vivin singkat.
          
 “Bingung? Kalo bingung, ‘pegangan’ Non,” ujarnya setengah tertawa. “Coba jelasin, kenapa udah sebesar ini… loe masih nggak punya cita-cita?” selidiknya.
          
 “Soalnya, tiap kali saya punya cita-cita selalu nggak kesampaian,” tutur Vivin datar.
          
 “Emang apa aja cita-cita loe?” tanya cowok itu ingin tahu.
          
 “Eng… waktu kecil, saya pengin jadi Hakim. Tiba-tiba kelas 1 SD, saya ngerubah cita-cita pengin jadi Dokter.”
           
“Terus?” Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
          
 “Ketika SMA, pas penjurusan saya gagal masuk IPA. Lalu saya merubah cita-cita jadi Diplomat. Saya juga sempat ingin jadi ahli bahasa, desainer, psikiater ataupun psikolog, bahkan pilot. Tapi pilot sebaiknya tidak berkacamata, sedangkan saya kan minus satu.”
           
Vivin terus berceloteh dan cowok itu mengangguk-angguk mendengarkan.
          
“Diplomat pun nggak kesampaian, karena gagal masuk jurusan Hubungan Internasional (HI)”, lanjut Vivin.

That’s it?”  Cowok itu mengernyitkan dahinya.
           
“Yah… saya pikir selama ini saya terlalu muluk dalam bercita-cita, sehingga kalau nggak kecapai, suka kecewa berat.”
           
“Tapi jadi Diplomat kan nggak mesti dari jurusan HI aja,” ujar cowok itu lagi.
          
 “Iya… Tapi kan emang lebih enak dan cepat lewat situ. Kapasitasnya lebih banyak yang dibutuhkan dari jurusan HI,” bela Vivin.
           
“Ooh… jadi begitu alasan-loe. Iya juga sih, tapi… ” Ia berhenti sejenak. “So, loe menyerah?”
          
 Vivin mengangguk.
          
 “Payah…” ujar cowok itu dengan nada mencemooh. “Orang hidup itu harus punya cita-cita. Yah… kisah-loe itu memang menyedihkan. Tapi gue rasa, loe belum gagal. Apalagi loe masih muda. Jalan-loe masih panjang. Masih banyak kesempatan,” ujarnya lagi dengan lagak seperti orang yang lagi pidato.
           
Ia mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan mata Vivin yang masih termangu. “HelloAre you listening?”
           
“Yah… saya sih sekarang ngikutin jalan yang saya pilih aja,” kata Vivin setelah sejurus lamanya terdiam.
           
“Pasrah?” tanya cowok itu lagi.
          
 “Bukan begitu… saya rasa, apa yang saya hadapi dan jalani sekarang adalah yang terbaik. Saya yakin, saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan jika saya berusaha untuk meraihnya, meski mungkin nggak harus jadi Diplomat,” jawab Vivin mantap.
           
Cowok itu menyembunyikan senyumnya, lalu berjalan ke arah jendela. Ia menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan beberapa patah kata, tapi Vivin udah nggak konsentrasi karena perutnya yang sangat lapar. Ia juga amat lelah karena hukuman lari tadi.

Si cowok langsung menoleh ke arah Vivin karena curiga cewek itu nggak mendengar ucapannya. Dilihatnya Vivin tampak mengerut di kursinya bagai orang sakit perut.
           
“Loe kenapa?” tanyanya cemas sambil menghampiri Vivin.
          
 “Saya… saya… lapaaar!” teriak Vivin karena udah nggak tahan lagi.

*   *   *
         
Vivin menyantap mie ‘yamin’-nya sambil menggerutu. Sampai abang baksonya… eh… mie-nya ngeliatin Vivin dengan pandangan “syereeem”. Mie yang harusnya begitu enak terasa membosankan, karena tiap kali menyuap Vivin ingat cowok menyebalkan itu.
           
Bahkan sampai di kamarnya pun, Vivin masih nggak bisa tidur. Ih… bagaimana bisa? Wajah mirip, tapi kelakuan berbeda! Cowok itu begitu cerewet dan sok tahu, sedangkan Indra begitu kalem dan pemalu. Bener-bener beda 180 derajat!



         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar