Welcome to my lovely blog ^_^

I named this blog with 'Queen of Rain', because it reminds me of Roxette's song that has the same title

But I also have another reason, it's because I like rainy season ^^

Sometimes, I feel sad when I saw the rain...

It brings me back to lots of memories...

I also think that sometimes at those rainy times, it feels like such a romantic moment ^_~

Sabtu, 18 Mei 2013

Between Two Choices Bab 1



 Bab 1
Cowok Cute


“Dududududu…” Vivin bernyanyi riang saat melenggang menuju rumahnya. Ia baru saja mendapat informasi, bahwa SMA tempat ia akan melanjutkan studinya ternyata bagus dan merupakan sekolah favorit. Meski tidak menjadi nomor satu seperti pilihan pertamanya, namun berarti masih ada kesempatan baginya untuk sekolah di tempat yang juga bagus.

Padahal awalnya Vivin sempat kecewa berat saat mengetahui ia gagal diterima di sekolah pilihan pertamanya. Ya itu tuh… sekolah “nomor satu” itu. Untung saja ada dua pilihan sekolah lain yang bisa dipilih. Jadi kalau gagal pada pilihan pertama alias nilainya tidak mencukupi untuk masuk sekolah pilihan pertama, maka para siswa akan ‘dilempar’ ke pilihan lainnya (wuih ‘dilempar’? sadis amat istilahnya ^_^ ) Demikian pula Vivin yang terlempar dari pilihan satu ke pilihan dua. Sementara bagi yang gagal di pilihan pertama dan kedua, mereka akan dilempar ke pilihan ketiga, begitu seterusnya. Kalau gagal sampai pada pilihan terakhir yah… terpaksa ke sekolah lain yang sama sekali nggak sesuai pilihan.

Akhirnya tibalah saat yang dinantikan, Vivin memasuki ‘dunia’ barunya. Ia mulai pakai rok abu-abu. Rambutnya yang waktu SMP kadang suka dikuncir dua (aduh… please deh!), sekarang sudah dikuncir ke belakang. Sepatunya yang dulu harus mengikuti aturan sekolah, sekarang agak bebas. Walaupun tiap upacara hari Senin, semua murid tetap wajib memakai sepatu hitam. Di SMP-nya dulu juga sangat disiplin. Ada guru galak yang menakutkan dan siap memukul dengan penggaris kayu besar di tangannya, kalau ada murid yang terlambat ataupun nggak berbaris rapi waktu upacara. Bahkan pernah ada murid cowok yang ditampar gara-gara berisik waktu upacara.

Hmm… kalau di SMA sekarang, gurunya tetap disiplin. Hanya saja mereka tidak pernah memarahi atau menghukum murid dengan memukul. Cukup dengan ‘kata-kata’ saja, mereka berhasil menyadarkan murid untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Atau dihukum lari keliling lapangan, atau scot jump, atau bahkan push up. Lumayan menguras tenaga juga ya?

Mungkin cara ini masih terlalu baik? Soalnya ada saja murid yang masih melanggarnya…hehehe… Meski begitu, siapa sih yang mau dihukum dan diceramahi panjang-lebar? Jadi, so pasti mereka sebisa mungkin tidak melakukan pelanggaran. 

Di kelas barunya, Vivin satu bangku dengan Jeany. Anaknya pintar, terutama dalam urusan pelajaran yang ‘berbau’ hitungan. Di bangku depannya duduk Oshi si jenius berkacamata yang mirip Conan Edogawa di serial komik “Detective Conan”, dan Rizal yang keren dan supel. Di samping kirinya, duduk gadis hitam manis bernama Yenny yang suka nonton “Ksatria Baja Hitam” ^_^ dan Juli yang hobby banget ketawa. Sementara di samping kanan bangkunya, ada Tirta si cewek tomboy yang suka pecicilan alias nggak bisa diam ^^ dan Riama yang rada pendiam dan suka duduk menyandar pada tembok sambil membaca.

Vivin duduk sambil mengarahkan pandangannya ke sekeliling kelas (mumpung nggak ada guru). Satu-persatu murid diperhatikannya, baik cewek maupun cowok. Tiba-tiba ia merasa sedih… hiks… kok di antara mereka nggak ada yang mirip Rommy ya?

Siapa itu Rommy? Ehmm… untuk mengetahuinya, kalian harus baca terus donk  ^_^

Mata Vivin kembali berkeliling. Tiba-tiba… matanya menangkap pandangan seorang cowok yang mengarah padanya. Cowok itu duduk di bangku belakang dan dia terlihat duduk dengan malas di kursinya. Vivin yang sudah hafal dengan nama seluruh teman sekelasnya, langsung BeTe dengan tatapan cowok bernama Nando itu. Dia itu kok senyum-senyum nggak jelas gitu sih? PeDe bener? Cara ngeliatinnya itu juga… duh… nggak banget deh!

Vivin langsung mengalihkan pandangannya kembali ke buku catatan di depannya. Saat itu memang nggak ada guru, tapi mereka diharuskan mencatat pelajaran yang ditulis oleh Gisca, sang sekretaris.

*   *   *

Begitu seterusnya, Vivin sering memergoki tuh cowok yang terus memandanginya tiap saat. BeTe banget! Bukannya ke-GeeR-an, tapi Vivin bener-bener terganggu dengan tatapan cowok itu. Yah… itu hak dia sih, kan mata juga mata-nya dia. Mau ngeliatin sampai juling juga terserah. Tapi, kenapa harus Vivin gitu loh? Males banget nggak, sih?!

“Dia kan anak orang kaya,” kata salah seorang teman sekelas Vivin saat jam istirahat.

“Siapa?” tanya yang lainnya. 

“Si Nando. Waktu pesta ultahnya Pinkan, dia diantar mobil mewah loh. Pake sopir pula.”

Hebat? Keren? Vivin yang duduk di sebelah dua cewek yang sedang ngobrol itu jadi rada-rada ‘stress’ mendengarnya. Memangnya kalau kaya baru bisa dibilang hebat dan keren ya? Terus kalau orang yang dari kalangan biasa-biasa aja tapi pinter, disebut apa? Dan kalau miskin tapi cakep, gimana?

Sebenarnya Vivin malas mengarahkan pandangannya ke bangku belakang, tapi… dilihatnya cowok itu tetap saja memandanginya. Eng…ing…eng… cowok di sebelah Nando kok dilihat-lihat ternyata “cute” yah? Hehehe… Dia nampaknya pendiam dan agak-agak pemalu gitu (pemalu ada yang ‘agak-agak’ ya? ^_^). Kalau ketawa juga behave bener… nggak pernah ‘ngakak’ kayak Vivin dan teman-teman lainnya. 

“Eh, Jean… cowok yang duduk di pojok kanan belakang itu namanya siapa sih?” tanya Vivin sambil berbisik pada Jeany yang asyik menyelesaikan hitungan matematika-nya. Lagi-lagi saat ini kelas kosong, karena guru yang seharusnya mengajar sedang sakit.

Jeany melihat sekilas ke belakang. “Nando,” jawabnya sambil tersenyum.

“Bukan, kalau itu sih gue tahu. Maksud gue, temen sebangkunya itu loh.”

“Ooh…” Mulut Jeany langsung membulat. “Dia Indra.”

“Lho? Bukannya namanya Zeva?” tanya Vivin.

“Iya, namanya Zeva Narindra. Panggilnya Indra,” jelas Jeany yang sudah menyelesaikan hitungannya dan menutup bukunya. Ia langsung merapatkan dirinya pada Vivin. “Kenapa? Loe naksir ya?” bisiknya iseng.

“Nggak… Yee…” Vivin langsung mencibir. “Cuma nanya doang kok.”

“Yang suka ngeliatin loe kan yang duduk di sebelahnya,” goda Jeany.

Vivin memandang Jeany dengan BeTe. “Biarpun dia kaya, kayaknya gue nggak bakal suka deh sama dia.”

“Dia kaya?” Jeany terperanjat. “Tahu darimana loe?”

“Yah… pokoknya gue tahu aja,” sahut Vivin malas untuk menjelaskannya.

“Dia juga manis kok, Vin,” tawar Jeany.

“Iya… iya… tapi kalau gue nggak suka, so what?”

Jeany hanya diam dan tersenyum penuh pengertian. “Iya sih… tatapannya sepertinya ‘sangat mengganggu’ ya? Kesian deh loe…” canda Jeany sambil mengusap kepala Vivin yang langsung manyun.

*   *   *
    


        Suatu hari, tersiar kabar kalau Nando pindah sekolah. Katanya sih, orang tuanya tugas di luar kota. Tapi ada juga yang bilang, kalau dia dikeluarkan dari sekolah karena nilai-nilainya hancur.

“Keseringan ngeliatin loe sih, jadi nggak konsentrasi ke pelajaran,” bisik Jeany pada Vivin sambil tertawa.

Lagi-lagi Vivin cuma bisa manyun mendengar godaan Jeany. Sebenarnya Vivin sangat kasihan pada Nando, kalau ternyata memang alasannya dikeluarkan adalah karena nilai-nilainya yang jelek. Cuma, mau bagaimana lagi? Itu sudah ketentuan di sekolahnya, kalau nilai seperti itu dianggap bahwa si anak tidak bisa bertahan di sekolah tersebut.  

Jadilah hari-hari Vivin tanpa pandangan Nando. Jujur, Vivin sedikit lebih tenang. Tapi, entah kenapa… hari-hari tenang itu kini menjadi sebuah ‘mimpi buruk’. Ada cowok di bangku belakang yang hobby banget melempar kertas yang sudah dibentuk bola-bola kecil, lalu dilemparkan ke arahnya. Sebalnya, kertas itu berkali-kali mendarat di rambutnya dengan sukses. STRESS banget khan?!

“Ih… siapa sih?!?” jerit Vivin suatu hari sambil mengarahkan pandangannya ke belakang dengan kesal. Namun, tak satu pun dari cowok itu yang mengaku. Mereka malah saling melempar kesalahan sesama cowok. Vivin bener-bener BeTe.

Lama-lama karena tidak tahan lagi, tibalah hari itu. Saat kertas itu mendarat lagi di rambutnya… dengan gemas plus kesal, Vivin pun berteriak tanpa mengalihkan pandangannya ke belakang. “Mending ngaku aja deh siapa yang ngelempar! Kalau suka, bilang terus terang!”

“Ayo ngaku aja. Ngaku…” Terdengar suara para cowok riuh rendah di bangku belakang. Tapi Vivin sama sekali nggak mau ngeliat siapa gerangan cowok itu. Ia benar-benar kesal! Dasar “chicken”, beraninya main belakang!

*   *   *

Vivin sedang mengobrol dengan Stella, saat seorang cowok berulang kali mondar-mandir di depan bangku tempat ia dan Stella duduk. Cowok itu tak lain adalah Indra. Ternyata setelah diperhatikan lebih lanjut, Indra yang pendiam bisa juga bercanda-canda sambil lari-larian sama temannya. Kadang-kadang rada pecicilan juga nih cowok, pikir Vivin heran. Tapi, kenapa dia bolak-balik di depan bangku ini terus?  Vivin berpikir lagi tanpa bermaksud GeeR.

Hari itu, Vivin memang sedang antusias membicarakan model rambut tokoh favoritnya di sebuah film. “Duh… rambutnya si Archie tuh keren banget ya. Agak dipanjangin gitu, kayaknya jadi makin manis banget. Apalagi, dia itu kan lembut dan romantis ‘abis’. Jadi model rambutnya kelihatan cocok banget sama karakternya. Wuaah… pokoknya potongan rambutnya tuh TOP banget deh!”

Sebenarnya seluruh kelas juga tahu apa film favorit Vivin yang membuatnya tergila-gila dan berapi-api tiap kali menceritakannya. Malahan banyak dari temen ceweknya yang jadi terpengaruh dan datang ke rumahnya untuk main sekaligus menyaksikan video film itu, karena Vivin seringkali merekam film yang saat itu diputar di TV. Bahkan kalau ada yang tertinggal salah satu episode-nya, mereka akan minta Vivin untuk menceritakannya dengan detail.

*   *   *

Selang beberapa minggu… Lho? Rambut Indra kok jadi mirip… ARCHIE???

“La… loe ngerasa nggak sih… kalau rambut Indra beberapa minggu ini jadi makin mirip Archie?” tanya Vivin pada Stella saat mereka berdua mengobrol lagi waktu pelajaran kosong.

Cewek berwajah Indo-Belanda itu memperhatikan Indra yang ‘lagi-lagi’ tampak berseliweran di dekat bangku tempat mereka duduk. Mata Stella langsung membelalak sambil menatap Vivin. “Iya, kok jadi mirip gitu ya?”

Vivin mengernyit sambil mengangkat bahunya. “Gue juga heran, kenapa dia bisa ngerubah potongan rambutnya dan membiarkannya panjang kayak Archie.”

Stella tersenyum. “Berarti asyik dong, loe bisa lihat Archie di dunia nyata,” ujar Stella sambil terkikik.

“Iya… bagus juga sih. Tapi…”

“Tapi kenapa?” tanya Stella heran.

“Bukannya ketentuan sekolah kita nggak boleh manjangin rambut kayak gitu?”

Stella kembali memperhatikan Indra dari kejauhan, saat cowok itu sedang berlari mengejar temannya (kayaknya nih cowok seneng banget main kejar-kejaran sama temennya deh ^_^ ). 

“Ah…cuma panjang seleher. Nggak begitu keliatan kok. Lagipula selama ini dia juga nggak ditegur kan?” Stella balas bertanya.

“Iya sih…” Lagi-lagi Vivin mengiyakan ucapan sahabatnya itu. Namun dalam hatinya dia merasa nggak yakin kalau Indra akan selamanya bebas dari teguran.

Dan benar saja, tiba-tiba seorang guru masuk kelas. Beliau adalah guru BP yang bernama Ibu Lita. Dengan logat khas daerahnya, ia langsung menyuruh anak-anak yang ribut dan mondar-mandir agar menempati bangkunya masing-masing. Tak berapa lama, mereka semua langsung terdiam dan duduk tenang.

“Kalian ini… kalau tak ada guru, belajarlah kalian semua. Jangan tak ada guru, kau main-main di luar. Mondar-mandir macam setrikaan,” ujarnya kesal. Ia memandang berkeliling. “Hei… kau…” tunjuknya ke arah bangku yang tak jauh dari Vivin.

Vivin dan teman-temannya mengarahkan pandangan ke bangku nomor tiga dari belakang. Hah! Yang ditunjuk itu… Indra!

“Sini… Maju dulu kau,” suruh Bu Lita pada Indra.

Indra maju ke depan sambil senyum-senyum nggak jelas, tapi sebenarnya seluruh teman sekelas tahu kalau Indra pasti sangat panik.

“Kau ini… ganteng-ganteng, tapi rambut kau… macam mana ini?” ujar Bu Lita sambil menyibak rambut keren Indra. 

Duh!  Vivin rasanya ingin tutup mata, karena nggak tega ngeliat Indra yang mungkin bakal dihukum. Apalagi teman-teman semua menertawakannya. Kasihan dia…

“Besok, kau harus sudah potong ini rambut. Jangan sampai besok Ibu lihat kau masih pakai rambut model gini,” ancam Bu Lita yang meski nada suaranya tidak menakutkan, tapi sebenarnya ngeri juga kalau memikirkan konsekuensi jika melanggar ucapannya.

*   *   *

Keesokan harinya, Indra sudah MEMOTONG rambutnya! Hiks… rambut ‘Archie’-nya hilang deh… Tapi, daripada dia dimarahi nanti, dan dihukum pula. Wah… akan lebih kasihan lagi.

Hari itu, Jeany yang seperti biasa sedang sibuk dengan hitungannya, tiba-tiba membalikkan badannya ke arah bangku belakang. Di sana ada Dimas yang memang duduk tanpa teman sebangku alias sendirian. 

“Dimas, nomor 3 gimana sih?” tanya Jeany sambil menyiapkan kertas berikut pena untuk minta penjelasan pada Dimas yang memang pintar. Vivin ikut membalikkan badannya. Tak lama kemudian, Dimas pun memberi penjelasan layaknya seorang guru pada mereka berdua. Tiba-tiba Indra langsung pindah dari bangkunya ke bangku Dimas. Ia pun ikut-ikutan nimbrung dengan ketiga orang itu dengan pembahasan hitungan yang susahnya selangit!

*   *   *

Dasar sial! Kenapa gue harus terlambat pas pelajaran Bu Ida sih? gerutu Vivin dalam hati saat berjalan menuju kelasnya. 

Bu Ida memang menakutkan! Dia sih nggak akan memarahi atau menghukum siswa yang telat. TAPI… dia hobby sekali menyuruh siswa untuk mengerjakan soal matematika di papan tulis. Dan itulah yang membuat murid-murid takut. Karena kalau saat disuruh hasil hitungannya salah atau nggak bisa mengerjakan, maka murid tersebut harus menyelesaikannya sampai hasil hitungan itu benar! Ngeri kan?

Vivin takut, kalau terlambat nanti ia akan terlihat menyolok saat memasuki kelas. Selama ini sih ia bebas dari suruhan Bu Ida untuk maju ke depan menyelesaikan soal. Tapi sekarang… saat terlambat seperti ini, bisa saja Bu Ida iseng menyuruhnya. Siapa tahu, hitung-hitung sebagai hukuman gitu… Hiiy… takuuut!

Perlahan Vivin mengetuk pintu dan ketika dilihatnya Bu Ida sedang tertunduk di mejanya, ia menanti beliau mengangkat kepalanya. Bu Ida memang suka menelungkupkan kepalanya di atas meja sambil menunggu murid menyelesaikan soal. Seperti saat ini, ketika dilihatnya Emy—teman sebangku Stella—nampak mengerjakan soal di papan tulis.

Karena Bu Ida tak kunjung mendengar ketukan di pintu, seluruh teman sekelas memberi ‘kode’ pada Vivin untuk segera memasuki kelas. Tangan mereka semua melambai pada Vivin untuk segera masuk sebelum Bu Ida menyadari kedatangannya. Dengan nekad, Vivin pun masuk kelas sambil mengendap-endap. Ia segera duduk di bangkunya, bangku nomor dua dari depan. 

Tapi… huaaa! Jeany nggak ada! Dia kemana??? seru Vivin dalam hati dengan panik. Karena tanpa Jeany, ia rasanya jadi makin ‘stress’. Tiba-tiba teman-teman cowok di belakang berbisik memanggilnya. Vivin menoleh ke belakang setelah sebelumnya melihat ke arah Bu Ida yang masih tertelungkup di mejanya.

“Apaan?” bisik Vivin.

“Duduk di sini aja, Vin,” bisik Romero sambil menunjuk bangku kosong di sebelah Indra. Vivin mengernyit. Lho? Bukannya Romero seharusnya duduk di sebelah Indra? Kenapa dia malah pindah ke belakang bangku Indra dan nyuruh gue duduk bareng Indra?

Karena Vivin tak kunjung bergeming dari bangkunya, Dimas yang duduk di belakangnya ikut berbisik,“Cepetan Vin, pindah aja ke sebelah Indra. Nanti loe disuruh ngerja’in soal di depan loh.”

“Iya, tadi kan nama-loe dipanggil sama Bu Ida. Loe disuruh ngerja’in soal, cuma tadi loe belum dateng. Ntar kalo loe duduk di depan gitu, loe kena tunjuk suruh maju ke depan loh,” bisik yang lainnya dengan nada menakuti.

Mendengar itu, Vivin langsung takut setengah hidup. Secepat kilat ia langsung menuju bangku Indra dan… duduk di sebelahnya. Bersamaan dengan itu pula, Bu Ida langsung mengangkat kepalanya dan melihat hasil pekerjaan Emy di papan tulis. Ia pun berjalan ke depan dan memeriksanya. “Yak… benar.”

Sebentar kemudian, wanita berjilbab itu mulai menunjuk lagi. Fiuuh… untung bukan gue, ujar Vivin dalam hati dengan lega. Bahkan nampaknya Bu Ida nggak menyadari kalau Vivin terlambat.

Seperti tadi, Bu Ida kembali duduk dan menelungkupkan kepalanya di meja sambil menunggu murid selanjutnya mengerjakan soal di papan tulis. Saat itu juga, Vivin mendengar suara Romero di belakangnya. “Bener kan, Vin? Tadi tuh loe yang ditunjuk. Coba kalo loe duduk di depan, pasti bakal kena tunjuk,” katanya lagi. “Makanya duduk di sini aja terus,” tunjuknya pada bangku yang diduduki Vivin di sebelah Indra.

Vivin menoleh ke arah Romero yang duduk di belakang Indra sambil tersenyum, meski padahal saat itu Vivin sangat panik! Vivin melirik arlojinya, hmm… sepertinya soal ini akan lama dikerjakan. Dan itu berarti… ia bisa iseng melirik ke arah orang yang duduk di sebelahnya. Dengan kata lain, ke arah Indra. Sebenarnya Vivin agak risih, karena sejak tadi teman-teman cowoknya terus menggoda Indra. Apa Indra…?

Pikirannya terhenti ketika tiba-tiba Indra menyodorkan kertas pada Vivin. Isinya… hah? Soal-soal matematika!

“Eung… Vin, ini gimana sih?” tanyanya sambil senyum-senyum nggak jelas.

Vivin langsung ‘stress’. Please deh… gue ditanya matematika?! Ampuuun!  Namun Vivin berusaha untuk tenang. 

“Aduh, ‘Ndra… loe salah alamat deh kalo tanya ini sama gue. Gue tuh paling nggak bisa itung-itungan,” jawab Vivin jujur.

Indra hanya tersenyum dan menunduk. 

Duh! Yang bener aja… Masa’ dia yang jelas-jelas lebih pinter dari gue soal hitungan, malah nanya sama gue? jerit Vivin dalam hati.

“Emang itu apa sih?” tanya Vivin setelah berhasil meredakan keheranannya.

Lagi-lagi Indra tersenyum malu. “Ooh… ini tes susulan. Kan gue sakit waktu itu,” jawabnya lembut.

Vivin berpikir sejenak. Oh iya, ya… kayaknya nih anak agak-agak ‘rentan’ gitu deh badannya akhir-akhir ini. Makanya beberapa kali sempat absen. Tapi sepertinya nggak ngaruh deh, nilai-nilainya tetep bagus.

“Ehm… ehmm…” terdengar deheman beberapa teman cowoknya selama Vivin dan Indra mengobrol. Mereka ngapain sih? pikir Vivin bingung.

*   *   *

Dari hari ke hari, begitu seterusnya. Selama ini gerak-gerik teman-teman cowok sangat mencurigakan. Mereka seperti mendorong Indra untuk melakukan sesuatu.

Seperti saat ini, Indra tiba-tiba saja pindah duduk tepat di belakang bangku Vivin. Berarti ia duduk bersama Dimas untuk selamanya.

Vivin, Jeany, Dimas dan Indra pun akhirnya sering mengobrol ataupun mendiskusikan pelajaran. 

“Eh, Vin… kita kan bakal ke Veldroom untuk olahraga hari Minggu,” ujar Jeany membuka pembicaraan—saat mereka sedang mengobrol berdua—tanpa membalikkan badan ke arah dua cowok di belakang mereka alias Dimas dan Indra.

“Oh ya? Wah… asyik dong! Moga-moga aja SMA-nya ‘dia’ juga olahraga di Veldroom besok Minggu,” harap Vivin dengan gembira.

“Gebetan-loe itu ya?” tanya Jeany antusias.

“He-eh…” Vivin mengangguk pasti.

Jeany tersenyum. “Nanti kasihtahu gue ya,” ujarnya.

Dan Vivin pun kembali mengangguk sambil tersenyum.

*   *   *

Veldroom… Stadion olahraga yang terletak di kawasan Rawamangun ini memang selalu digunakan para murid sekolah untuk olahraga. Sejak SMP, Vivin juga sering menggunakan tempat ini untuk olahraga terutama untuk pengambilan nilai lari jarak jauh. Meski capek, tapi anak-anak langsung semangat ’45 kalau ingat di seberang stadion ini ada Arion Plaza. Maklum… setelah olahraga, hampir semua anak pasti menyempatkan diri jalan-jalan ke sana.

Sampai di Veldroom, Vivin celingukan mencari-cari rombongan SMA ‘gebetan’nya.

“Vin!” Tiba-tiba didengarnya suara dua orang cewek memanggilnya. Terlihatlah Merry dan Vita, temannya saat SMP dulu. Mereka juga satu SMA, hanya saja berbeda kelas dengan Vivin.

Dua teman lamanya itu menghampiri Vivin dengan bahagia sambil memeluknya. “Eh, SMA Satya Kelana juga ada loh,” ujar Vita bersemangat.

“Iya, dari tadi kita udah cari-cari dia tapi nggak ada,” timpal Merry.

“Gimana sih, first love-loe itu,” ujar Vita lagi. “Males olahraga ya?”

“Yah… dia lagi jalan-jalan sama temennya kali, jadi bolos,” kata Vivin sekedarnya, padahal dia sebenarnya sangat kecewa. Dia udah lama banget nggak ketemu Rommy sejak kelulusan SMP. Hiks… Meski nggak janjian—tapi Vivin berharap banget—secara nggak sengaja mereka bisa ketemu lagi. Mulanya ia berpikir, dengan kebersamaan jadwal olahraga SMA-nya dan SMA Rommy di Veldroom, itu berarti Tuhan hendak menggariskan pertemuan mereka kembali. Tapi, nyatanya…

“SMA Satya Kelana ya?” Jeany tiba-tiba datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri mereka bertiga. “Mereka udah mulai sejak jam 8 pagi. Sekarang udah jam 10, jelas aja mereka udah pada bubar. Paling sisanya cuma yang terlambat.”

Vivin langsung lemas. “Yaah… kenapa sih kita olahraganya nggak jam 8 pagi aja, malah baru mulai jam 10,” keluh Vivin BeTe.

“Iya… karena kalo jam 8, loe bakal telat,” goda Vita sambil cekikikan. 

Semuanya ikut tertawa, tapi… eits… Vivin merasa ada sepasang mata yang sedang memandanginya. Ternyata Indra! Dia duduk nggak jauh dari tempat Vivin dan ketiga temannya berdiri saat ini. 

Duh… kira-kira dia denger pembicaraan tadi nggak, ya? pikir Vivin.

*   *   *

Hari ini pelajaran olahraga lagi. Tapi Vivin lagi nggak enak badan. Biasa… penyakit bulanan membuatnya kurang nyaman dan kondisi kesehatannya jadi nggak begitu baik. Jadi, dia minta izin nggak ikut olahraga. Selain Vivin, ada juga beberapa teman yang nggak ikut olahraga. Dan… hei… Indra ternyata nggak olahraga juga!  Setahu Vivin, kemarin dia memang habis sakit.

Akhirnya mereka yang nggak ikut olahraga malah mengikuti permainan tebak huruf yang diajarkan Vivin, termasuk Indra. Hehehe… dia bisa juga diajak main kayak ginian yah? Kira’in orang pendiam dan pemalu nggak minat sama permainan kayak gini  ^_^

Setelah jam olahraga selesai, mulai berdatanganlah teman-temannya ke dalam kelas untuk mengambil pakaian seragam dan berganti pakaian di tempat ganti. Indra menghentikan permainan hurufnya dan menghampiri teman-temannya yang baru saja memasuki kelas. Sedangkan Vivin masih tetap bermain huruf bersama Coky, salah satu cowok di kelas yang anaknya asyik banget diajak ngobrol.


Saat istirahat, ketika semua teman keluar untuk jajan, Vivin melanjutkan permainan tebak hurufnya dengan Stella dan Coky. Tiba-tiba saat Vivin sedang menuliskan beberapa huruf di papan tulis, Coky menghampirinya. “Vin, loe suka nggak sama Indra?” tanyanya langsung.

Hah? Vivin terkejut setengah mati! Ia nggak pernah berpikir akan dapat pertanyaan seperti itu. Namun dengan tenang ia menjawab,”Dia kan temen gue, jadi nggak mungkin lah gue suka sama dia.”

“Soalnya kalo loe suka juga, eng… ”  Coky menghentikan ucapannya.

“Kenapa?” tanya Vivin heran.

“Eh, nggak kok… nggak apa-apa.” Coky cengengesan.

“Gue nggak mungkin suka sama Indra, soalnya… gue udah suka sama orang lain,” tegas Vivin.

“Siapa?” tanya Coky menyelidik.

Vivin hanya tersenyum. “Orangnya nggak ada di sini. Dia ada di SMA lain.”

“Yaah… sayang ya… padahal loe mau dijodohin sama Indra loh,” ujar Coky dengan nada putus asa. 

Hah?!  Vivin melongo. Tunggu dulu… Kok dia rasanya agak ‘nyesel’ sih? Kenapa ya?

*   *   *

Sehari berlalu sejak pertanyaan mengejutkan itu. Kali ini, seperti biasa Vivin dan Jeany sedang asyik mengobrol di bangkunya sambil  mengerjakan tugas dari guru, karena lagi-lagi guru tersebut berhalangan hadir. Sementara dua “makhluk” di belakang—yang tak lain adalah Dimas dan Indra—juga nampak sibuk mengerjakan tugas tersebut.

Tiba-tiba didengarnya suara pelan Indra. Meski pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Vivin. “Yaah… gimana dong… katanya dia udah suka sama cowok lain,” keluhnya.

“Loe yakin?” Kali ini terdengar suara pelan Dimas.

“Iya. Soalnya udah ditanya’in kemarin sama Coky,” terdengar suara Indra lagi.

Tiba-tiba… “Eh, Dimas… ini gimana sih?” Suara Jeany langsung menyeruak obrolan mereka, sehingga Vivin jadi nggak bisa mendengar kelanjutannya—karena Dimas dan Indra langsung menghentikan ucapannya begitu Jeany diiringi Vivin membalikkan badan ke arah bangku mereka.
*   *   *

“Vin, gue duduk sama loe ya?” ujar Emy sambil langsung meletakkan tasnya di bangku sebelah Vivin. “Kebetulan temen sebangku kita sama-sama nggak masuk nih,” kata Emy lagi sambil nyengir. “Lagipula selain pas pulang bareng, jatah ngobrol kita kan bisa nambah.”

Vivin mengangguk sambil tersenyum memandang sahabat sekaligus teman satu jurusan naik angkot-nya saat pulang sekolah itu. “Boleh… gue seneng banget kita akhirnya bisa duduk berdua.”

Mereka pun ber-‘curhat ria’ sambil menunggu kedatangan guru. Emy curhat tentang gebetan-nya dan Vivin curhat tentang Indra. 

“Menurut-loe, Indra itu gimana sama gue?” tanya Vivin dengan bingung.

Tiba-tiba guru datang. Mereka pun langsung terdiam dan mengeluarkan PR. Bagi yang tidak mengerjakan PR, harus maju ke depan kelas. Dan… tak lama kemudian berderetlah para cowok berdiri di depan kelas. Mereka malas semua sih… hehehe… Tapi, loh… kok Indra ada di antara mereka? Dia kan biasanya rajin banget! Masa’ sih, kali ini dia nggak ngerja’in PR? Dia lagi kenapa ya? pikir Vivin heran.

Entah kenapa, Vivin jadi salah tingkah. Habisnya, semua teman Indra menyuruh Indra untuk berdiri tepat menghadap bangku Vivin. Alhasil, Vivin pura-pura membaca buku. Terdengar olehnya, sang guru memberi nasehat pada mereka yang tidak mengerjakan PR. Cukup lama juga ternyata  nasehatnya… dan cukup lama juga bagi Vivin untuk harus ‘mendapati’ dirinya berhadapan dengan Indra, meski jarak itu dipisahkan oleh meja di depan Vivin.

“Iya, Vin… kayaknya Indra emang suka sama loe. Abis, dari tadi ngeliatiiin mulu,” bisik Emy sambil tersenyum menggoda Vivin.

“Aah… masa’ sih?” tanya Vivin nggak percaya. “Nggak mungkin kalee.”

“Bener deh!” Emy meyakinkan. “Mata tuh nggak bisa bohong loh.”

Vivin sebenarnya agak tersanjung (psst… ‘tersanjung’ sama ‘GeeR’ beda loh ^_^). “Yaah, gimana… gue udah suka orang lain sih…”

Emy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jelas, dia tuh keliatan banget loh suka sama loe.”

Saat pelajaran itu usai, terdengar suara seorang cowok dari bangku belakang,“Deu… Indra padahal ngerja’in PR tuh, tapi kok ikut maju ke depan ya?”

Hah? Dia ngerja’in PR? Ngapain dia ngaku nggak ngerja’in dan ikut berdiri?  Vivin makin ‘lieur’ (pusing).

*   *   *

­­
Berkali-kali “kebetulan” yang terjadi antara Indra dan Vivin, membuat teman di sekitarnya mendukung mereka. Tapi gimana? Vivin bener-bener nggak bisa ngelupa’in first love-nya.

Hari ini pelajaran FISIKA. Entahlah… saat istilah ‘aksi – reaksi’ dijelaskan oleh guru, terdengar omongan tajam dari cowok-cowok di kelasnya. “Tuh, ‘Ndra… dengerin… Kalo ada aksi, seharusnya ada reaksi!”

Vivin merasa, ucapan ini sengaja ditujukan untuk menyindirnya. Teman-teman Indra sepertinya tahu, bahwa Vivin selama ini bersikap cuek dengan segala aksi yang dilakukan Indra. Tapi, apa ini salah Vivin? Bukankah kalau kita nggak suka, seharusnya kita memang nggak memberi harapan?

*   *   *

Tak terasa waktu berlalu… Di kelas yang baru, Vivin berpisah dengan Jeany, Emy, dan Stella. Karena tiga teman ceweknya itu berpencar ke kelas lain, ke jurusan IPA. Sementara di jurusan IPS—Vivin bertemu Ira dan Sekka—yang kemudian juga menjadi sahabatnya. Kisah tentang dirinya dan Indra pun diceritakan pada dua sahabatnya itu. Bagaimana sebenarnya perasaan Vivin pada Indra akhirnya?