Welcome to my lovely blog ^_^

I named this blog with 'Queen of Rain', because it reminds me of Roxette's song that has the same title

But I also have another reason, it's because I like rainy season ^^

Sometimes, I feel sad when I saw the rain...

It brings me back to lots of memories...

I also think that sometimes at those rainy times, it feels like such a romantic moment ^_~

Senin, 22 Oktober 2012

Misteri Puri Tua



 Misteri Puri Tua

Kami tiba di pelabuhan Southhampton pukul 8 malam. Ini adalah perjalanan kami yang pertama kalinya ke Inggris. Kami adalah sekumpulan anak nekad dari Amerika yang suka berpetualang. Perjalanan ini juga kami tempuh karena ada cerita yang mengatakan bahwa di Inggris bagian utara terdapat sebuah puri tua yang menarik untuk diselidiki.

       Kami berjumlah lima orang, yaitu Adam, Bobby, Donny, Diva, dan aku. Begitu mendengar kabar tentang puri tua itu, kami langsung berniat pergi ke Inggris, sekaligus mengisi liburan musim panas tahun ini.
            Aku menjunjung koporku yang lumayan berat, begitu juga dengan keempat temanku. Mereka tampak kerepotan sekali seperti halnya aku.
       Adam melambaikan tangannya pada sebuah taxi yang mangkal tak jauh dari situ. Secepat kilat taxi itu pun meluncur ke arah kami dan berhenti tepat di hadapan kami. Kami pun segera naik menuju penginapan. Sampai di penginapan, kami tertidur karena kelelahan.

*   *   *

            Keesokan harinya, setelah sarapan kami langsung menyewa sebuah mobil untuk perjalanan ke kota Edinburg, tempat puri tua itu berada.
            Edinburg memang cukup jauh dari London, sehingga kami baru sampai di sana menjelang malam. Kota Edinburg tidak seramai London, bahkan jalan-jalannya pun lengang. Hanya beberapa orang saja yang lalu-lalang di jalan itu.
            Adam menghentikan mobil dan bertanya pada salah seorang dari mereka yang lalu-lalang di jalan tersebut.

            “Maaf, Pak... apa benar di kota ini terdapat sebuah puri tua?”

            “Oh... ya...ya...benar,” jawab bapak itu menganggukkan kepalanya.

            “Apakah jaraknya masih jauh dari sini?” tanya Adam lagi.

            “Tidak, sebentar lagi juga kelihatan. Terus saja ke utara, puri itu terletak dekat teluk Fourth,” jawab bapak itu sambil tangannya menunjuk ke arah utara.

            “Benarkah?” ujar Adam dengan gembira. “Terima kasih atas petunjuknya, Pak.”

            “Mau apa kalian ke sana? Kata orang, puri itu berhantu! Lebih baik kalian tak usah ke sana,” cegah bapak itu.

            “Tidak apa-apa. Kami tidak takut hantu, Pak,” tukas kami bersamaan.

            Adam menyalakan mesin mobil. “Permisi, Pak... sampai bertemu lagi.”

       Mobil pun bergerak meninggalkan bapak itu. Sayup-sayup terdengar suara bapak itu,"Hati-hati!”

         Kami meneruskan perjalanan. Memang benar... ternyata menara puri itu sudah terlihat. Berarti jaraknya tak jauh lagi.

            Akhirnya sampailah kami di puri tua itu. Puri itu besar sekali dan menyeramkan!

            Kami memegang kopor masing-masing dan memandang ke arah puri itu.

            “Inikah purinya?” tanya Diva dengan suara gemetar.

            “Ya... benar...” jawab Bobby pula dengan suara tersendat. Tampaknya ia ketakutan.

            Aku memperhatikan puri tua yang besar itu. Memang menyeramkan sekali! Banyak kelelawar di kiri – kanan menara. Tembok-temboknya sudah terkelupas. Tumbuhan merambat di jendela menaranya...
            “Oke... kita masuk,” ujar Adam sambil mengeluarkan senternya.
            Kami tampak ragu dan memandang ke arah Adam.
            “Takut?” tanya Adam lagi.
            “Ah... tidak ... tidak,” sahut kami bersamaan, lalu mengeluarkan senter kami masing-masing.
            Pintu berderit nyaring ketika Adam mendorongnya, bulu kuduk kami serasa berdiri mendengarnya. Kalau mau jujur, sebenarnya kami semua takut! Hanya Adam yang kelihatannya tenang-tenang saja. Atau ia pura-pura tidak takut karena sebagai ketua kelompok, ia harus terlihat berani? Tak seorang pun yang tahu apakah Adam sama takutnya seperti kami. Ia malah sibuk mencari-cari saklar lampu, sedangkan kami hanya berdiri diam di dekat pintu sambil membantu menyinari ruangan dengan senter kami.
            “Aha... ini dia!” seru Adam tiba-tiba.
       Lalu tak lama kemudian ruangan itu pun terang. Kami merasa lega sekali karena akhirnya Adam berhasil menemukan saklar itu. Kalau tidak...
            “Ckk... ckk... luas dan bagus sekali ya!” pekik Diva kagum.
            Semua memandang berkeliling. Memang ruangan itu bagus sekali! Seperti istana! Di ruang itu juga terdapat perapian dan lukisan-lukisan yang bagus. Di kanan dan kirinya terdapat tangga yang menuju ke lantai atas.
            Karena puri itu sudah tua, maka tak heran jika banyak sekali sarang laba-laba dan itu semua harus kami bersihkan. Setelah kami membersihkan ruangan itu, kami pun duduk berkeliling sambil memakan bekal kami.
            Malam semakin larut, tapi kami belum tidur. Perasaan takut masih menghantui kami. Maka kami mengobrol untuk menghilangkan rasa takut itu.
          “Ngomong-ngomong, apa benar puri ini ada hantunya?” tanya Diva sambil memandang ke sekeliling ruangan itu.
             “Ah... paling hanya takhyul,” ujar Bobby kesal.
           Entah kenapa sehabis Bobby berkata demikian, angin kencang berhembus di ruangan itu. entah darimana datangnya! Lukisan-lukisan di dinding berderak-derak, lampu berkelip-kelip, sebentar menyala – sebentar kemudian mati. Kami semua saling berpandangan. Diva memelukku erat-erat. “Erin, aku takut!” serunya setengah berteriak.
       “Bobby, seharusnya kau tak mengatakan kalau ini takhyul,” sahut Donny sambil membetulkan kacamatanya.
      Bobby terdiam. Ia merasa bersalah, karena dia... kami semua ketakutan. Adam menepuk-nepuk pundak Bobby. “Sudahlah... tak usah cemas. Aku juga tak yakin kalau ini perbuatan hantu.”
        Semalaman kami tak bisa tidur karena dicekam ketakutan yang amat sangat. Esok paginya kami semua mengantuk. Pagi ini, Adam, Bobby dan Donny pergi mencari kayu bakar untuk menyalakan perapian malam nanti. Akhirnya tinggallah aku dan Diva berdua saja di puri itu. Mulanya kami masih takut, ingat kejadian tadi malam. Lama-kelamaan hilanglah rasa takut itu. Sebentar kemudian kami berdua sudah menyusuri koridor di puri itu, lalu naik ke lantai atas. Ketika sampai di lantai atas - kami membuka jendela-jendela - sehingga udara segar pun masuk ke puri. Tiba-tiba terdengar seruan Diva,”Erin, kemarilah... ada sesuatu yang bagus!”
        Aku segera menuju ke arah datangnya seruan Diva. Kulihat Diva berdiri di balkon sambil mengarahkan padangan pada pemandangan di bawahnya. Wah! Indahnya! Kami menganga seolah tak percaya. Begitu indah pemandangan itu. Ternyata di belakang puri itu terdapat Laut North dan Teluk Fourth yang dikatakan oleh bapak yang kami temui di kota kemarin malam.
         Cukup lama kami memandangi keindahan pemandangan dari balkon puri itu, ketika tiba-tiba Diva merasa haus dan ingin ke bawah untuk minum. Tampaknya Diva sudah tak merasa takut lagi, karena ia tidak minta kutemani. Maka tinggallah aku sendiri di balkon itu sambil terus memandangi indahnya lautan di depanku.
            Setelah puas memandanginya, aku bermaksud untuk turun ke bawah karena Diva tak kunjung datang. Baru saja aku berbalik, betapa terkejutnya aku! Tiba-tiba di depanku berdiri seorang laki-laki tinggi memakai jubah hitam, mirip vampir! Aku terkejut setengah mati! Ingin rasanya aku berteriak, tapi tenggorokkanku serasa tercekat.
         Laki-laki itu memandangku dengan tatapan dingin. Parasnya mirip seorang wanita... cantik! Rambutnya pun panjang dan hitam, tapi wajahnya pucat seperti mayat.
            “Siapa kau?” Suara itu keluar dari bibirnya yang tipis dan merah.
            “Na... namaku Erin...” jawabku gugup.
            Apakah orang ini hantu? tanyaku dalam hati. Jantungku berdegup keras. Aku takut sekali!
            “Erin?” tanyanya dingin.
            “Ka... kau siapa?” Aku balik bertanya.
            “Namaku Valiant,” jawabnya singkat.
            “Kau ini apa?” tanyaku lagi. Tiba-tiba saja muncul keberanian dalam diriku.
            “Aku ini vampir!”
            “Hah?” Aku bengong. Sebentar kemudian aku tertawa. “Masa iya, di zaman seperti ini ada vampir.”
            “Kau boleh percaya, boleh tidak...” ujarnya masih menatapku dengan dingin.
      Tatapan itu membuatku kaku! Akhirnya aku pun lari sambil berteriak,”Diva... tolong...!!!”
            Aku menuruni anak tangga secepatnya. Nafasku terengah-engah. Kakiku gemetaran seperti dikejar hantu. Tapi ini bukan hantu, melainkan vampir!
          Ternyata di bawah sudah berkumpul Adam, Bobby, Donny, serta Diva. Mereka tampak heran melihatku.
            “Erin darimana saja kau?” tanya Adam.
            “A... aku... me... melihat...” Aku tak segera meneruskan ucapanku.
            “Sudah... tenangkan dirimu...” sahut Donny sambil menyodorkan segelas air putih.
        Aku meneguk air itu, lalu menenangkan diri. Diva sepertinya sangat khawatir melihatku, begitu juga dengan yang lainnya. Tetapi aku mengatakan kalau aku tak apa-apa.
       Mungkin karena sangat lelah, kami bisa tidur pulas malam itu. Aku pun mencoba melupakan kejadian tadi siang.

*   *   *

          Pagi harinya, Adam, Bobby dan Donny pergi ke kota. Maka seperti halnya kemarin, aku dan Diva tinggal berdua di puri itu. Ini adalah hari kedua kami tinggal di puri tersebut. Lama-kelamaan puri itu bagi kami seperti rumah sendiri. Diva membereskan dapur, sedangkan aku membereskan kamar.
        Herannya, aku tak jera dengan kejadian kemarin. Aku masih saja berdiri di balkon tempat aku bertemu Valiant, si vampir itu! Rasa ingin tahuku bahkan semakin besar. Aku seperti sengaja menunggu kedatangannya.
          Tiba-tiba saja Valiant sudah ada di hadapanku. Masih mengenakan jubah hitamnya dan kerah kemeja yang tegak. Bibirnya menyungging senyum tipis ketika melihatku. Sikapnya tak lagi dingin seperti ketika pertama kali bertemu denganku. Aku juga tak lagi takut bertemu dengannya.
          Valiant duduk di salah satu kursi yang ada di situ. Tiba-tiba dari tangannya keluar sinar dan bagaikan sulap, ia memunculkan dua buah gelas berisi cairan merah.
        Apakah itu darah? Aku bertanya-tanya dalam hati. Aku bergidik ngeri, karena setahuku vampir memang meminum darah.
       Tampaknya Valiant tahu apa yang kupikirkan. Ia tersenyum memandangku sambil mengangkat gelas berisi cairan merah itu. Ia lalu berkata,Jangan takut... ini hanya jus tomat.”
            “Fiuuh...” Aku menarik nafas lega, lalu duduk berhadapan dengan Valiant.
            “Mari minum... sebagai tanda persahabatan,” ujar Valiant.
            “I... iya... terima kasih,” sahutku sambil mengangkat gelas itu dan meminumnya. Ah... segarnya!

*   *   *

        Begitulah, dari hari ke hari aku bersahabat dengan Valiant. Dia sangat baik! Yang kutahu, vampir suka menghisap darah manusia, tapi Valiant lain... Ia benar-benar vampir yang baik hati! Aku pun lebih suka tinggal di puri itu sendirian, jika keempat temanku pergi ke kota. Sampai pada suatu hari, mereka pulang dengan wajah pucat pasi.
            “Ada apa?” tanyaku heran saat melihat wajah mereka.
       “Erin, ada kejadian di kota!” jawab Adam tegang. “Banyak penduduk kota yang terbunuh, dan anehnya... mereka tewas dengan cara yang sama!”
       Bobby meneruskan,”Di leher mereka seperti ada bekas gigitan vampir dan tubuh mereka kehabisan darah!”
            “Vam... pir... mungkinkah...” Aku terdiam. Di benakku terbayang wajah Valiant yang ramah. Mana mungkin dia melakukan ini? Dia juga sudah tidak pernah lagi minum darah. Kalau dia mau menghisap darah, pasti sekarang ini aku sudah mati! Bermacam-macam pikiran berkecamuk dalam diriku.
            Esok harinya, keempat temanku pergi ke kota lagi untuk mendapatkan keterangan lain mengenai kejadian kemarin. Sedangkan aku tinggal di puri seperti biasanya dan inilah saatnya aku bertanya pada Valiant.
            Aku berdiri di balkon dan menunggunya. Tak lama kemudian Valiant pun datang, entah darimana dia muncul. Aku tak pernah tahu... Anehnya... kali ini bibirnya merah sekali, seperti habis... menghisap darah!
         Aku memperhatikannya dengan tegang, tapi aku berusaha untuk mengatasi ketegangan itu dengan mencoba tersenyum padanya. Valiant pun membalas senyumanku dengan ramah. Ia lalu memunculkan sesuatu dari tangannya dan bak seorang tukang sulap, tiba-tiba saja ia menggenggam seikat bunga mawar, kemudian menyerahkannya padaku.

        “Terima kasih...” ujarku sambil menerima bunga itu. “Darimana kau dapat bunga-bunga ini?” tanyaku.    

        “Aku memetiknya ketika sedang jalan-jalan di kota,” jawabnya santai.
       Aku terkesiap. Jalan-jalan di kota? Apa benar dia yang melakukannya? Hatiku terus bertanya-tanya, sampai akhirnya...
         “Maaf Valiant... maukah kau berterus terang padaku?” tanyaku hati-hati.
         “Terus terang?” tanya Valiant tak mengerti.
         “Apa yang kau lakukan di kota?”
           Valiant diam. Ia menunduk. “Kau sudah tahu ya? Maaf Erin... aku...”
        “Menghisap darah orang-orang di kota?” ujarku meneruskan. “Mengapa harus mereka? Bukan aku?”
         Valiant tak menjawab. Ia memandang ke arah langit malam yang gelap. “Selama ini aku sendirian di puri ini... aku sangat kesepian! Sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Erin... kau adalah sahabatku satu-satunya.”
          “Itu bukan alasan!” Aku mencibir. “Kau janji tak meminum darah lagi kan?”
          “Maaf Erin, aku tak tahan...” sahut Valiant pelahan.
    “Baiklah kalau begitu... aku tak sudi berteman denganmu!” sahutku ketus, lalu meninggalkan Valiant yang berdiri mematung di balkon itu.
         Aku menuruni anak tangga dengan kesal. Ketika sampai di bawah, ternyata keempat temanku sudah kembali dari kota.
           “Erin, kamu selalu menghilang,” ujar Diva terlihat agak panik.

           “Iya, kami takut kamu diculik hantu di puri ini,” Bobby menambahkan, tapi terlihat ia mengucapkannya sambil agak bercanda.

           Aku tersenyum kecut. Bukan hantu, tapi vampir pembunuh! seruku dalam hati. 

        
        Malam itu, kami mendiskusikan tentang kejadian di kota. Tapi tiba-tiba lampu berkelip-kelip, lalu datang angin kencang dan lukisan berderak-derak seperti saat pertama kalinya kami tiba di puri ini.

        Semuanya berpegangan. Tiba-tiba berkelebat bayangan hitam, di antara kami. 

        “Apa itu!” seru mereka bersamaan.
        Aku terdiam. Pasti ini perbuatan vampir jelek itu!

      Akhirnya ruangan itu terang kembali, tapi keempat temanku pingsan. Hanya aku yang tidak. Baru saja aku hendak melihat keadaan mereka, ketika tiba-tiba Valiant menghalangiku.
      “Aku akan menghisap darah mereka satu-persatu!” kata Valiant dengan kasar. Wajahnya tak lagi ramah, tetapi mencerminkan kemarahan. “Erin... hanya kau-lah sahabatku!”
      “Tidak Valiant! Kalau kau lakukan itu, kau bukan sahabatku!” sahutku dengan marah.
             
        Valiant tak menggubrisku. Ia sudah bersiap akan menggigit leher Adam.
     Aku terus-menerus menarik jubahnya. “Valiant... kau bilang kau kesepian! Aku juga! Kalau mereka mati, maka aku juga akan sendirian dan kesepian sepertimu! Aku juga butuh sahabat! Kau juga sahabatku Valiant! Sahabatku yang terbaik!” Aku menangis sambil terus menarik jubah Valiant.
         “Erin, aku tak melakukan apapun kok.”
         Tiba-tiba aku mendengar suara Valiant yang lembut. aku mendongakkan kepalaku dan terlihatlah wajah Valiant yang ramah. Ia tertawa. “Aku hanya bercanda,” sahuntnya sambil tersenyum padaku.
          Aku pun membalas senyumannya.
       “Aku tak minum darah lagi. Aku janji! Aku hanya minum jus tomat,” ujarnya sambil tertawa.
        Aku lega sekali. Aku mengulurkan tanganku. “Ayo jabat tangan. Besok aku akan pulang.”
          “Hmm... tapi janji kau ke sini lagi ya,” sahut Valiant menjabat tanganku.
          “Yup... aku janji!”
      Aku memandang pada teman-temanku yang masih pingsan. “Mereka bagaimana?” tanyaku bingung.
       “Ah... sebentar lagi mereka akan sadar,” jawab Valiant. “Sambil menunggu mereka sadar, ayo kita jalan-jalan mengitari puri untuk terakhir kalinya, sebelum kau pulang,” ajak Valiant.
            Aku mengangguk. “Oke...”
       Dalam hatiku, aku sangat sedih akan berpisah dengannya. Selamat tinggal Valiant sahabatku. Mungkinkah aku mendapatkan sahabat sepertimu lagi?


-------------------------------------------------------------------------

* PS : story ini dulu diterbitkan di tabloid Hoplaa sekitar tahun 1999 ^^
dari kecil, saya suka sekali cerita tentang vampir; makanya saya langsung terinspirasi & membuat cerita ini ^_~
saya sempat membuat sequel dari cerita ini, tapi sayangnya belum saya publish 
hehehe coba saya waktu itu iseng menjadikannya novel ya... pastinya jadi duluan saya deh yang membuat kisah cinta antara vampir & manusia sebelum 'Twilight'
Anyway, ada hal-hal yang waktu itu masih dianggap aneh di Indonesia 
Saat saya membuat sequel dari cerita ini & ada cinta antara vampir - manusia, sebuah majalah mengatakan kalau mereka lebih menyukai cerita yang 'masuk akal'
hohoho coba saya nggak terpengaruh dengan kata-kata tidak masuk akal itu ya coz nyatanya kisah cinta itu kan universal seperti yang dituangkan Stephanie dalam novelnya 
btw, sampai sekarang saya masih belum mau menyentuh novel itu karena teringat ide saya yang padahal sudah muncul sejak tahun 2000 huhuhu ya sudahlah...
saya juga belajar dari Stephie *I call her like that, it's nice ^^* karena dia pun dulu novelnya sempat ditolak oleh beberapa penerbit
tapi dia bisa membuktikan kalau karyanya layak baca & tetap punya segmentasi penggemar ^_^