Welcome to my lovely blog ^_^

I named this blog with 'Queen of Rain', because it reminds me of Roxette's song that has the same title

But I also have another reason, it's because I like rainy season ^^

Sometimes, I feel sad when I saw the rain...

It brings me back to lots of memories...

I also think that sometimes at those rainy times, it feels like such a romantic moment ^_~

Minggu, 16 Desember 2012

Bidadariku 'Tlah Kembali

BIDADARIKU ‘TLAH KEMBALI



Kalau aku udah pindah nanti, kamu janji ga bakal ngelupain aku kan?”
“He-eh…pasti!”

*   *   *

            Fiuuh…aku terbangun dari tidurku. Berkali-kali kata-kata itu selalu terngiang dalam mimpiku. Itu kan janji zaman SD, masa’ sih gue ga bisa ngelupa’in itu, sungutku dalam hati sambil mengikat sepatuku setelah sarapan.
            “Bimo, ini uang jajannya,” teriak mama dari dalam sambil menyusulku.
            Oh iya! Aku sampai lupa dengan hal ‘penting’ semacam itu. Tanpa itu, bisa-bisa aku ‘cengo’ seperti kucing ompong saat melihat teman-teman jajan di kantin. Eh…salah ding, maksudku ‘sapi ompong’. Aku bergegas ke dalam lagi untuk mengambilnya dan sekali lagi aku mencium pipi mama sebelum berangkat.
“Abis sekolah, langsung pulang ya,” seru mama kala aku melambaikan tanganku dan tersenyum padanya di dekat pintu gerbang.
“Beres!” Aku mengacungkan jempol sambil segera berlari. Sepuluh menit lagi bel berbunyi. Meski rumahku berada tepat di belakang sekolah, bukan berarti aku bisa santai kan?
            Aku memasuki kelasku, ketika kulihat Alda sedang tertawa cekikikan dengan beberapa cowok dari kelas sebelah. Gile bener! Dia kan pacarku! Kok seenaknya gitu sih tertawa dan bercanda sebebas itu. Udah gitu, mesra banget lagi! Aku terus mengerutu dalam hati sambil memperhatikan cewek cantik berambut lurus itu dari bangkuku. Rambutnya itu emang luar biasa Te-O-Pe, makanya dia jadi model iklan shampoo. Nah tuh… tambah lagi kan kegiatannya yang bikin dia bakal makin dekat sama cowok-cowok lain, selain aku.
Bel berbunyi dan Alda pun bergegas masuk kelas sambil menebar senyum manis padaku serta pasang tampang wajah ‘ga berdosa’. Idih…dia ga nyadar apa, kalo aku udah dari tadi merhati’in dia. Apa dia emang pura-pura ga liat or matanya yang normal itu sekarang kudu pake kacamata?
“Eh, Bimo…udah datang ya?” sapanya sambil langsung duduk di sebelahku.
Puh! Dari tadi tahu, gue ada di sini dan melihat senyum ‘maut’-loe yang hampir membunuh cowok-cowok itu! batinku kesal sambil memandangnya dengan BeTe.
“Kok diem aja? Lagi BeTe ya?” tanyanya lagi sambil menggoyangkan lenganku.
“Tuh, Pak Ramlan dateng. Mending balik ke tempat duduk-loe gih,” ujarku seolah tidak mengindahkan ucapannya.
Alda langsung cemberut, tapi kemudian tersenyum lagi. “Ya udah, sampe nanti ya…” ujarnya sambil melayangkan ‘kiss bye’ ke arahku dan menuju bangkunya.
            Jujur! Aku benar-benar menyukainya! Tapi, sikapnya itu kok ya bikin aku ‘gondok’ hampir setiap hari. Aku sudah berusaha untuk bersabar, tapi…
“Yak! Keluarkan PR kalian.” Suara Pak Ramlan mengejutkan aku. Kontan aku langsung bergegas meraih tas dan mengeluarkan buku bahasa Inggrisku dan…mati aku! PR-ku tertinggal di rumah!
Dodo teman sebangkuku terlihat memasuki kelas dengan wajahnya yang pucat. Ia terlambat! Pasti ia lebih ‘mati’ lagi daripada aku. Tuh kan, Pak Ramlan langsung menghampiri dan menegurnya,“Halo, Mas…rumahnya di HongKong ya?”
Seluruh kelas tertawa, sementara Dodo yang mukanya tadi pucat bak mayat kini mulai memerah bagai kepiting rebus. Untung saja, Dodo hanya disuruh berlari keliling lapangan sebanyak 5 kali. Tapi itu kan lumayan (Lumayan capek maksudnya). Terus, bagaimana denganku ya?
Pak Ramlan terus memeriksa PR dari satu bangku ke bangku lainnya, sampai tiba di bangkuku… “Mana PR-nya?” suara Pak Ramlan yang dekat di telingaku terdengar bagai kilat menyambar.
“Pak…eung…maaf, PR saya ketinggalan,” jawabku jujur.
“Nama saya Ramlan, bukan eung!” bentaknya sambil meralat sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. “Lagipula, kamu mau bohong sama saya? Cari alasan aja! ‘Basi’ tahu!” ujarnya makin marah dengan disisipi bahasanya yang tetep ‘gaul’.
“Bener, Pak….saya nggak bohong. Sudah saya kerjakan, tapi tertinggal di meja belajar,” sahutku membela diri.
Pak Ramlan menghela nafas. “Ya udah, hmm…rumah kamu deket kan? Sekarang juga kamu lari dan ambil tuh PR. Ga’ pake lama ya!” 
Aku mengangguk dan sambil menunduk minta izin pada Pak Ramlan, aku segera berlari secepat kilat ke rumahku. Di rumah, mama hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku yang nampak stress mengikat tali sepatu karena tak kunjung terikat. Baru saja aku hendak pergi… “Eh, ini bukunya!” teriak mama.
Aku kembali lagi dan segera meraihnya. “Makasih…daaah mama!!!”
Aku berlari sepanjang gang rumahku dan gedebruk! Alamak aku pake acara jatuh lagi. Bener-bener ‘ga lucu’ banget! Udah ketinggalan PR, sempat-sempatnya gue jatuh di sini, lagi-lagi aku bersungut dalam hati.
“Wah…kok jatuh, Mas… Hati-hati dong, jangan buru-buru gitu… Santai aja…” suara lembut seorang gadis diiringi tawa cekikikan nampak terdengar tak jauh dari tempatku jatuh.
Aku meliriknya dengan malu plus pengin tahu, kaya’ apa sih cewek yang berani-beraninya ngetawa’in cowok seganteng gue?! Busyet! Ternyata cantik banget! Lebih cantik dari bidadari! (Emang bidadari cantiknya kaya’ apa?)
Tanpa ‘ba bi bu’, aku langsung kembali berdiri dan ambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Nanti aku ga mau lewat situ lagi ah! Aku mau ambil jalan memutar, niatku dalam hati.
Aku kembali memasuki kelasku dengan diiringi tatapan BeTe dari Pak Ramlan. “Lama amat, Mas. Main kucing-kucingan dulu sama tetangga ya?”
Aku hanya tersenyum malu. Dalam hati aku berseru, Bukan main kucing-kucingan, tapi ditertawakan seperti kucing yang jatuh dari pohon!
Segera saja kuserahkan PR-ku pada Pak Ramlan yang kemudian tersenyum melihat hasil pekerjaanku. “Bagus! Saya tahu, kamu pasti tidak malas,” ujar beliau sambil nyengir.
Yee…kenapa tadi mengira aku bohong? pikirku kekhi.
Mata pelajaran bahasa Inggris pun berlalu, dan sekarang tiba pelajaran Akuntansi. Ternyata Pak Charlie ga masuk, karena harus mengantar istrinya ke rumah sakit. Hehe…sebenarnya nama aslinya Pak Chaerul, tapi anak-anak lebih suka memanggilnya Pak Charlie. Katanya sih, biar terdengar ‘keren’ gitchu…
Meski tidak ada guru yang mengajar, kami tetap tidak diperkenankan keluar kelas. Jadi dengan berat hati, kami harus duduk manis dalam kelas sambil menanti guru piket datang menyampaikan tugas yang akan kami kerjakan.
Dodo menyenggol tanganku. “Psst…ada kiriman surat dari Tari,” bisiknya sambil menyerahkan secarik kertas yang terlipat rapi. Aku segera mengambilnya sambil sebelumnya melirik pada gadis bernama lengkap Cut Tari itu. Eit…bukan Cut Tari yang artis itu loh. Tapi memang banyak kesamaan antara Cut Tari dan cewek ini.
Ntar ikut main ke jalan Jaksa ga? Demikian isi suratnya.
Weits…nama jalannya kaya’ judul sinetron ya? Ups…bukan kok, ini jalan tempat aku dan teman-teman biasa mangkal sepulang sekolah. Letaknya juga ga jauh dari sekolahku. Di sana tempatnya asyik. Kita bisa hang-out sepuasnya and dapat kenalan baru. Jajanannya juga asyik, macam siomay Bandung yang luar biasa nikmat, ataupun sekedar makan gorengan yang juga tak kalah lezat. Minumannya juga…
Aku langsung berhenti melamunkan makanan dan minuman di sana, karena tiba-tiba saja di depanku sudah berdiri non Alda. “Ngapain ngelamun? Mikirin gue ya?” tanyanya dengan PeDe.
Aku menggeleng dan tersenyum padanya. Dalam hati aku berteriak,Ya! Gue juga mikir kenapa elo bisa-bisanya memperlakukan gue seperti ini. Loe anggap gue apa??? Makanya, mendingan gue mikirin jajanan di jalan Jaksa daripada mikirin elo.
“Tari ngajak gue ke jalan Jaksa.” Akhirnya aku menjawab dengan jujur.
“Tari?” Alda mengernyitkan dahinya. Nampaknya ia bingung, tapi tak berkata sepatah kata pun.
Ayo dong cemburu! batinku sambil memandangnya.
“Ya udah, gue ikut ya…”
Lha? Aku langsung bengong. Kira’in dia mau nangis-nangis nyuruh gue jangan ke sana. Eh, dia malah mau ikut.
Sebentar kemudian, Alda nampak mendekati Tari dan terlihat olehku, dia seperti merayu-rayu gadis berdarah Aceh itu. Duh! Kesempatan gue ilang buat bikin Alda cemburu, sungutku kesal. Aku tahu benar, sejak dulu Tari naksir aku. Cuma, di mataku yang terlihat hanya Alda seorang. Tapi, kaya’nya di mata Alda yang terlihat 1000 cowok! BeTe!!!

*   *   *

Akhirnya sepulang sekolah, kami sekelas beramai-ramai pergi ke sana. Loh? Kok jadi rame begini sih? Ini gara-gara Dodo yang ngintip surat Tari waktu aku lagi membacanya. Dasar sial!
Setibanya di sana, aku langsung memesan siomay plus es campur. Begitu pula teman-teman. Tapi Nana yang bertubuh gempal nampaknya ga cukup hanya makan siomay, dia juga membeli gorengan. Buatnya, memang ‘Tiada hari tanpa ngemil’.
Aku sedang tertawa bersama teman-teman, tatkala kulihat sebuah mobil mewah warna hitam meluncur dan…berhenti tepat di depan Alda.  Seorang cowok tampak menuruni mobil itu dan hei…dia lebih ganteng, lebih keren, lebih tinggi, lebih…lebih… Aku tak sanggup meneruskan penilaianku, karena cowok itu memang terlihat ‘ciamik abis’. Kaya’nya sih dia eksekutif muda gitu.
“Eh, Bim…itu kan cowok yang sering nemuin Alda.” Suara Dodo mengejutkanku.
Aku memandangnya dengan marah. “Kenapa loe baru bilang sekarang?” ujarku gemas.
“Kaya’nya gue udah bilang dari kapan tahu deh, tapi loe-nya ga perduli and malah ga percaya.”
Aku langsung berusaha mengingat-ingat. O iya! Kaya’nya waktu itu Dodo udah bilang dan memperingatkanku, tapi aku ga mengindahkannya dan malah hanya tertawa sambil berlalu. Aku memandang Alda dari kejauhan. Bener-bener ga merasa bersalah. Udah jelas aku ada di sini, tapi dia kok…
“Gue pulang ya…” Aku langsung meraih tasku dan meninggalkan teman-temanku. Mereka semuanya memandangku dengan prihatin sambil berusaha menenangkanku. “Kalian nyantai aja… Lagipula gue emang udah janji sama nyokap mau pulang cepet,” ujarku sambil berusaha untuk tersenyum. Padahal hatiku marah dan sakit. Ingin rasanya aku menghampiri cowok itu dan menghajarnya!

*   *   *

Sampai di rumah, aku disambut mama dan…aduh mak! Cewek yang tadi pagi ngetawa’in aku waktu jatuh!
“Eh, Bimo baru pulang. Udah ditunggu dari tadi loh,” ujar mama sambil tersenyum dan melirik cewek itu sekilas. Mungkin ingin tahu expresinya waktu melihatku. Maklum…selama ini mamaku always PeDe kalau anaknya emang paling cakep sedunia.
Aku garuk-garuk kepala seperti orang ketombean, padahal nggak. Hehe…ini karena aku canggung di hadapan cewek itu.
“Ini Alma. Masih ingat, nggak?” tanya mama sambil membantuku meletakkan tasku.
Alma? Aku mengernyit. Kaya’nya pernah denger deh. Dia kan… Aku berhenti sejenak. Ya ampun! Dia kan tetangga dan teman mainku waktu kecil! Saat SD kelas 6 dia sekeluarga pindah rumah. Dan setelah itu, kontak kamu terputus begitu saja. Menyedihkan…
“Iya! Aku inget!” seruku dengan semangat ’45 hingga mengejutkan mama dan tentu saja Alma. Namun sebentar kemudian mereka berdua tersenyum.
“Alma dan keluarganya pindah lagi ke sini. Sekarang mama dan papanya masih di luar kota, karena itu Alma dan kakaknya datang duluan ke sini. Kakaknya siang ini lagi kuliah, jadi Alma main ke sini, ” jelas mama.
“Ooh…” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku, karena selanjutnya kami bertiga mengobrol. Setelah itu, aku mengantarnya pulang.
“Makasih ya udah dianterin,” ujar Alma sambil tersenyum manis.
“Sama-sama,” balasku dengan senyuman yang aku yakin ga kalah manis.
“Oh ya…lututnya…” Alma berhenti sejenak sambil memandangi lututku yang tadi luka waktu jatuh. “Maaf ya tadi gue ngetawa’in elo,” katanya dengan nada menyesal.
“Ga pa-pa kok,” sahutku enteng.
“Kalo gitu… SYUKURIN!!!” Tiba-tiba Alma berteriak lantang sambil tertawa-tawa dan berlari masuk rumahnya.
Sial! Gue dikerja’in! Tapi aku malah ikut tertawa sambil melambai padanya. Awas ya! Gue akan jadikan loe pacar gue menggantikan Alda, si playgirl itu! tekadku dalam hati. Namanya hampir mirip kan? Hehehe…
           Lagipula, hmm…’bidadari kecilku’ yang dulu telah kembali. Bidadari yang selalu muncul dalam mimpiku. Aku memang tidak bisa melupakannya. Dia adalah teman terbaikku sejak dulu, dan sekarang… bakal jadi pacar kali yee…

*   *   *   *  *
                                                                                         August ‘15th , 2005 


------------------------------------

Story ini memang dibuat Agustus 2005, tapi saya lupa dimuatnya tahun berapa ya? hehehe 

Yang jelas, lagi-lagi saya tidak tahu kalau cerita saya ini ternyata dimuat di sebuah tabloid karena tahu-tahu saya memperoleh sesuatu dari mereka ^^ 

Yupz... tepatnya di tabloid 'Gaul'

Seingat saya, waktu itu majalah 'Story' baru saja edisi-edisi awal, jadi kemungkinan cerita saya itu dimuat sekitar tahun 2009

Sedihnya... saya yang tidak pernah berlangganan (karena saya membeli kalau saya sempat ke toko buku atau penjual majalah), alhasil saya kehabisan edisi dimana cerpen saya ini dimuat T_T


My First Love


MY FIRST LOVE

 

            Saat itu, umurku masih 13 tahun. Aku yang kala itu duduk di kelas 2 SMP mungkin masih belum mengetahui apa itu ‘cinta’. Yang kutahu, aku mulai merasakan ‘gejolak’ aneh yang seringkali terasa dalam dadaku. Gejolak itu timbul tiap kali aku melihatnya, dan perasaan itu makin tak menentu saat aku berdekatan dengannya.

            Aku yang merasakan tahun ajaran baru di kelas 2 ini, tidak merasakan perubahan apapun. Aku masih saja seorang gadis lugu yang ‘dipingit’ oleh orang tuaku. Ayah terlampau ‘over protective’ padaku. Maklumlah, aku adalah anak perempuan satu-satunya. Dua kakakku laki-laki, adikku pun laki-laki.
            Tiap kali sepulang sekolah, aku langsung pulang ke rumah. Paling banter, aku pergi ke toko buku untuk sekedar membaca-baca berbagai buku di sana, atau membeli komik Jepang yang kusuka.
            Siang itu, seperti biasanya aku bergegas pulang ke rumah. Tak biasanya rumahku yang sepi itu kini ‘agak’ ramai. Aku segera masuk ke rumah untuk mencaritahu apa yang terjadi di dalam sana. Pelan-pelan kubuka pintu depan dan menutupnya dengan hati-hati. Aku berjingkat melewati ruang tengah, terdengar suara ramai dari ruang bermain yang terletak di sebelahnya. Ya… ruang itu adalah tempat dimana kakak dan adikku biasa bermain playstation.
            Aku berhenti di depan pintu ruang itu, lalu melalui celah pintunya aku mencoba melihat ke dalam. Tampak olehku, kakakku Andrei sedang asyik-asyiknya bermain playstation dengan…hmm…siapa ya? Aku mencoba memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. Ah, ya… dia pasti teman baru kakak di kampusnya.
            Baru-baru ini Andrei diterima di program Diploma, di sebuah universitas ternama. Kakakku yang nomor dua ini gagal masuk SPMB. Mulanya ia hendak mengikuti jejak kakak sulungku yang berhasil lolos SPMB tahun lalu di universitas yang sama. Namun apa hendak dikata, Andrei harus cukup puas dengan program Diploma-nya sekarang. Meski demikian, ia pun harus menghadapi saingan yang tidak mudah. Andrei harus mengalahkan sekitar 3000 orang, dan syukurlah… akhirnya ia mampu terpilih dalam 75 orang yang diterima di sana.
            Aku masih mengamati teman kakakku itu melalui celah pintu. Wajahnya lucu, seperti perempuan. Apalagi didukung dengan kulitnya yang putih dan rambut yang dibiarkan panjang melewati lehernya. Di dalam sana, nampak ia tertawa-tawa dengan kakakku sambil asyik memainkan playstation dengan joystick-nya.
            Perhatianku terpecah, saat kudengar panggilan mama. Aku bergegas ke dapur dan mendapati mama yang tengah meracik sirup lychee dan menata kue-kue di piring kecil. Begitu melihatku mama langsung tersenyum, lalu menunjuk pada nampan berisi sirup dan kue tadi.
            “Tolong antar ini ke ruang bermain,” ujar mama.
            Sejenak aku terdiam, namun tak lama kemudian aku pun mengangguk dan segera meraih nampan tersebut, setelah sebelumnya meletakkan tasku di kursi.
            Pelan-pelan aku menguak pintu ruang bermain dan mendapati dua pasang mata yang menoleh ke arahku, tapi kemudian mata itu kembali memelototi layar TV karena game yang mereka mainkan belum usai. Namun tiba-tiba…
            “Yaah…mati!” teriak cowok itu dengan kesal diiringi tawa kakakku.
           Hampir saja nampan yang kubawa terjatuh, untung dengan sigap aku segera meletakkannya di karpet.
            “Yuk, kita makan kue dulu,” ujar kakakku yang langsung disambut dengan uluran tangan cowok itu, yang segera meraih kue coklat di piring.
            “Hmm…enak...” kata cowok itu sambil asyik mengunyah.
            Aku tersenyum geli melihat expresinya.
            “Manda, ngapain kamu di sini?” Tiba-tiba suara kakak membuyarkan lamunanku. Kulihat kakakku itu mengarahkan jempolnya ke arah pintu.
            “Ayo…out…gue mau ngobrol sama Livery…”
            Cowok yang ternyata bernama Livery itu melihatku sekilas, lalu kembali sibuk dengan kuenya. Dengan agak kesal, aku pun segera keluar dari ruangan itu.
            Apa-apaan sih kak Andrei! pikirku sebal. Aku melempar tasku dengan kesal ke tempat tidur.
*   *   *
            Tidak biasanya aku menolak ajakan teman-teman ke toko buku. Entahlah…aku rasanya ingin cepat pulang ke rumah. Aku berharap, cowok bernama Livery itu datang lagi.
            Dan ternyata dugaanku tidak salah! Dari ruang tengah terdengar obrolan seru kak Andrei dengan Livery. Kali ini pun, aku mengantar nampan berisi sirup dan kue untuk kakak dan temannya yang manis itu. Seperti kemarin, Livery hanya melihatku sekilas lalu meneruskan melahap kuenya.
            Aku sebenarnya bingung, kenapa aku ini? Dia rasanya tidak pernah perhatian padaku, tapi kenapa aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang dirinya? Sorot matanya yang dingin itu… kenapa tiap kali melihatku, dia seperti itu?
            Kejadian itu terus berlangsung, karena Livery sering sekali bermain ke rumah kami. Ia juga seringkali meminjam kaset playstation kak Andrei, atau sekedar menonton VCD animasi Jepang kesukaannya. Nampaknya, ia dan kakakku memiliki hobby yang sama : main playstation dan menonton animasi Jepang.
            Sampai pada suatu hari, Livery datang lagi dan aku yang berada di teras rumah, mau tidak mau bicara dengannya. Apalagi dia yang lebih dulu bertanya padaku.
            “Manda, Andrei ada nggak?” tanyanya acuh tak acuh.
            “Oh…eh…iya…ada di dalam…masuk saja…” ujarku gugup.
            Ia pun bergegas memasuki rumah. “Permisi ya…”
            Nampaknya keluargaku sangat menyukainya. Bahkan kakak sulungku sering pula nimbrung dengan obrolan dia dan Andrei. Begitu pula adikku, ia sering sekali bertanding playstation dengannya. Aku benar-benar iri, aku selalu berharap seandainya saja aku bisa berada di tengah-tengah mereka dan berbicara tentang kehidupan cowok-cowok seperti mereka.
            Namun anehnya, Livery yang supel pada seluruh keluargaku, tidak menampakkan respon yang menyenangkan di hadapanku. Ia tetap saja ‘dingin’ tiap kali bertemu denganku, malah aku yang sibuk mengatasi kegugupanku dan debaran jantung yang tak karuan. Alhasil, aku hanya bisa melamunkan dirinya jika aku berada di kamar. Membayangkan wajahnya yang sedang tersenyum, atau berbicara dengan antusias. Ia sungguh membuatku terpesona!
            Selidik punya selidik, ternyata Livery lulusan sekolah khusus pria. Pantas saja ia bersikap seperti itu padaku. Tapi aneh juga, padahal kudengar dari mama, kalau dia juga punya adik perempuan bungsu yang masih SD. Setidaknya, ia harusnya masih bisa menerimaku yang juga perempuan.
            Aku makin bingung dengan perasaanku. Aku jadi takut. Apa ini yang namanya ‘cinta’? Aneh memang, padahal rasanya Livery tak pernah ‘melihatku’, tapi kenapa dalam hatiku, dia begitu ‘berarti’? Ketika dia tak datang, rasanya rumah kami sepi, sesepi hatiku. Kalau dia tertawa, rasanya dunia ini menjadi indah! Aku selalu berpikir, mungkin lebih baik begini… menyimpan rasa sukaku hanya dalam hati saja.
            Sampai beranjak ke bangku SMU, perasaanku tak berubah. Aku menganggap Livery adalah ‘cinta pertama’-ku. Aku benar-benar tak bisa melupakannya. Entahlah… meski ia hanya sesekali bicara denganku, tapi itu sudah cukup. Asal bisa ‘memandang’nya dari jauh, rasanya itu pun sudah cukup bagiku.
            Aku tahu, mungkin Livery hanya akan menganggapku sebagai adik. Biarlah… aku memendam rasa cinta ini. Yang kulakukan saat usiaku yang ke-15 ini adalah menuangkan rasa sukaku pada Livery dengan menulis… menulis… dan menulis… Aku membuat sebuah novel. Novel manis dan romantis yang berisi seluruh khayalanku tentang Livery, novel yang mewakili seluruh perasaanku padanya. Cinta murni sejak SMP, yang kujaga hingga kini.
            Aku selalu berpikir… gadis seperti apa yang disukai Livery. Akhir-akhir ini, tiap kali datang ke rumahku, wajahnya nampak berseri-seri. Sejak satu setengah tahun lalu, kakakku sudah pindah jurusan. Yah… ia sudah mencoba ‘mengadu nasib’ lagi lewat SPMB dan berhasil! Mulanya ia ingin mempertahankan kuliah Diploma-nya juga, sembari mengambil kuliah regulernya. Namun ternyata tidak semudah yang ia kira, program Diploma-nya banyak menyita waktu dan banyak berbenturan dengan kuliah S1-nya. Akhirnya diputuskan, ia meninggalkan program Diploma-nya dan memfokuskan pada kuliahnya sekarang. Yang aku heran, kenapa Livery masih suka bermain ke rumah kami? Meskipun memang intensitasnya tidak sesering dulu.
            Aku makin merasa Livery mulai jarang main ke rumah. Dengar-dengar sih, dia sedang sibuk mengerjakan tugas akhirnya. Lagi-lagi aku merasakan ‘keanehan’ pada perasaanku. Perasaan ini… mengapa aku merasakan kerinduan yang memuncak, di saat dia tidak datang ke rumah.
            Aku juga merasakan hal lain… yah… rasa ini… kecemburuan yang muncul dalam hatiku. Aku jadi berpikir, jangan-jangan ada gadis yang disukainya. Kalau ya, siapa dia? Seperti apa wajahnya? Penampilannya? Tingkahnya? Sifatnya? Aku merasa sedih, kecewa, takut, dan cemburu. Semua rasanya bercampur menjadi satu dalam hatiku. Dan dari kesemuanya itu, timbul satu ungkapan dalam benakku : Betapa beruntungnya gadis itu!
            Tak terasa waktu berlalu, kini aku sudah menginjak bangku kuliah. Novelku laris manis. Aku benar-benar tak menyangka! Yang kutulis hanyalah ungkapan hatiku, kisah cintaku yang ada dalam khayalan indahku. Khayalan seorang gadis SMU yang mendambakan cinta yang entah kapan dapat terwujud. Aku memang payah, aku bahkan tak sanggup membuka hatiku pada pria lain. Aku hanya berharap, lewat tulisanku ini, perasaanku yang terpendam selama ini dapat tersampaikan padanya.
            Aku juga tak tahu, bagaimana keadaannya sekarang. Yang kudengar, ia sudah bekerja. Sekali-kali ia datang ke rumahku untuk mengobrol dengan kakakku, dan yang bisa kulakukan hanyalah mencuri-curi pandang padanya. Ia tampak sudah lebih dewasa kini. Tapi, itu justru membuatku makin merasa ‘jauh’ darinya. Mungkin juga, ia kini sudah menemukan tambatan hati.
            Aku sadar, kini aku bukan Amanda yang dulu lagi, Aku harus membuka hatiku pada pria lain. Aku percaya, suatu saat aku akan menemukan kasih yang sejati. Maka biarlah kusimpan rasa cintaku yang murni ini tetap dalam hatiku, dan menjadi kenangan yang indah dalam hidupku. 
*   *   *
           
“Wah… kamu kak Amanda, ya ? Minta tanda tangannya, dong!” seru seorang gadis ABG menghampiriku.
            Aku tersenyum padanya. Memandang gadis itu, bagaikan melihatku di cermin waktu dulu. Waktu aku… merasakan cinta pertamaku.          

*   *   *   *   *

February ’ 3rd, 2004


To my ex ‘rival’ :
I  wrote this story, cause I really understand how you feel…


-------------------------

Story ini dimuat di tabloid 'Teen' pada tahun 2005

Saat itu, tabloid yang semula bernama 'Fantasi' ini berubah nama untuk pertama kalinya & untuk yang pertama kalinya pula mereka memuat cerpen teenlit ini di tabloid mereka sejak berganti nama 

Saya sangat beruntung menjadi orang pertama yang dimuat cerpennya di tabloid tersebut ^_^

Sekarang tabloid tersebut sudah berubah menjadi majalah & bahkan berubah nama lagi menjadi 'Wonder Teen', tapi sampai sekarang saya belum lagi mengirim cerpen pada mereka hehehe 

Senin, 29 Oktober 2012

About Me

Atashi no namae wa Marisa desu ^_^



But, you can call me Ica                  

I was born in Cilacap, October’18th

Hobby saya :

baca, nulis (apa aja ^_^ cerpen, cerber (cerbung), novel, review & artikel), nonton TV/DVD (terutama 
drama oriental seperti drama Korea, Jepang, Taiwan, HongKong & China); Mandarin kungfu series + anime (animasi Jepang), 
dengerin musik, main internet, menggambar, jalan-jalan ke mall/toko buku, koresponden & nyanyi ^^

Pengalaman menulis           :   

Saya suka menulis sejak kecil ^_^
Tulisan pertama saya yang dimuat di majalah adalah puisi, saat saya duduk di kelas 3 SD.
Waktu duduk di bangku SMP, saya mulai menulis cerita anak. Sayangnya, saya tidak pernah berani untuk mempublikasikannya. Jadi saya hanya memperlihatkannya pada teman-teman dekat saya di sekolah. Sebenarnya mereka semua menyuruh saya untuk mencoba mengirimkannya ke majalah, tapi saya tidak pernah percaya diri.
Saya selalu menulis cerpen dan cerbung, tapi memang tidak pernah sekalipun mengirimkannya ke media cetak.
Saya pernah menjadi freelance contributor di sebuah tabloid terbitan Surabaya.
Setelah itu, saya mulai mencoba mengirimkan cerpen dan cerbung ke beberapa tabloid dan majalah. Syukurlah semuanya dimuat ^^
Di tahun 2005, saya membaca di sebuah surat kabar tentang Scholarship Writing Program yang ditawarkan oleh sebuah sekolah penulisan. Saya pun mencoba menunjukkan hasil tulisan saya. Bersaing dengan ratusan orang dari seluruh Indonesia, sempat membuat saya takut dan cemas. Tapi syukurlah… saya termasuk salah satu yang beruntung mendapatkan beasiswa program penulisan tersebut.
Saya juga pernah menjadi staff redaksi dan editor di sebuah penerbitan majalah dan novel.
Saya menjadikan Friendster (FS), Facebook (FB), blog, homepage, dan weblog sebagai lahan untuk menulis, terutama review atau artikel tentang drama oriental dan anime, serta fanfic (fan fiction).
Pada tanggal 18 September 2005, saya mendirikan club yang bernama Korean Drama Club (KDC). Saya menulis untuk keseluruhan isi newsletter dari club ini. Oh ya, Korean Drama Club (KDC) adalah club pencinta drama Korea yang pertama di Indonesia loh ^_^ Sekarang club ini sudah berjalan secara OnLine melalui community pageKorean Drama Club (KDC) (hanguk-eo deulama keulleob)’ di Facebook. Karena saya tidak sempat lagi mengurus club melalui surat, maka dengan OnLine-nya page dari club ini; lebih mempermudah saya untuk menulis artikel dan review langsung ditujukan kepada seluruh anggota yang kini berjumlah lebih dari 4000 orang ^^


3 Juni 2009 {bersamaan dengan dirayakannya ulang tahun 'Candy's Fans Club (CFC) / Candy no fankurobu' yang sudah berdiri lebih dulu}, saya membentuk club baru yaitu 'Oriental Lovers Club (OLC)' 

Club ini juga adalah club yang pertama di Indonesia & membahas drama oriental seperti Korea, Jepang, Taiwan, HongKong & China, serta membahas segala hal yang berhubungan dengan oriental 

Kedua club ini yang semula juga melalui surat-menyurat, kini sudah bisa diakses secara online

Penulis favorit : 

Siapa ya? 

Hehehe saya bingung… soalnya menurut saya, setiap penulis semuanya mampu menghasilkan karya yang
bagus

Tapi jika disuruh memilih…hmm…mungkin dari luar negeri saya pilih J.K. Rowling dan Enyd Blyton, 
sedangkan dari dalam negeri saya pilih Mira W dan A.A. Navis (pengarang zaman dulu ^_^)



Minggu, 28 Oktober 2012

Love Hurts



                   LoVe HuRtS

 

 
Hatiku hancur mengenang dikau...
Berkeping-keping jadinya...

            Syair dari tembang lawas milik Tetty Kadi itu rasanya terus terngiang di telinga Erick. Biasanya ia tertawa kalau mendengar lagu yang lumayan sering disetel oleh mamanya tersebut, karena lagu itu sepertinya terdengar sangat cengeng di telinganya. Namun ia tak menyangka, kini justru sebaliknya. Ia rasanya ingin mematikannya dan bahkan ingin melempar tape tersebut agar lagu itu berhenti.
            Ini semua gara-gara cewek itu! Cewek cantik bernama Ita yang sebulan lalu sempat jadi pacarnya. Sebulan gitu loh? Males banget nggak sih? Buang-buang waktu aja kan?
            Padahal sepertinya waktu sebulan itu dipenuhi rasa berbunga-bunga sepanjang hari di dalam hatinya. Sampai-sampai hampir setiap hari ia menggambar hati di buku catatannya. Lalu, menuliskan namanya dan nama Ita di tengah gambar hati tersebut. Alhasil, saat Pak Beno (guru paling killer di antara yang paling killer) melewati bangkunya, ia langsung mengambil buku yang tengah diukir dengan gambar hati oleh sang “pujangga cinta” Erick dan melemparkannya ke luar kelas dengan ‘sukses’.
            Tidak pernah terbayangkan olehnya, gadis itu telah mengkhianatinya dan menorehkan luka yang sangat dalam pada hatinya. Hati ini benar-benar bagai disayat oleh pisau tajam yang sudah diasah berkali-kali oleh tukang asah pisau. Udah diasah berkali-kali, sama tukang asah pisau lagi, tuh... gimana nggak makin hancur hatinya?
            Semenjak putus itulah, Erick juga seolah jadi nggak punya semangat hidup. Kerjanya cuma ngelamun aja... Makan nggak selera, tidur nggak bisa, main nggak niat, belajar apalagi! Sepertinya buku pelajaran di depannya selalu menertawakannya. Lagu romantis dan kata-kata cinta terdengar mengiris di telinganya. Lidahnya kelu jika ingin bicara dan nggak mampu merasakan nikmatnya makanan lezat. Hidungnya pun seolah mati rasa, semua aroma makanan sesedap apapun tercium hambar.
Pokoknya kini ia sangat ‘anti’ jika berdekatan dengan hal-hal yang ‘berbau’ cinta. Kulitnya seolah gatal kalau bersentuhan dengan bantal berbentuk hati yang ada di rumahnya, juga buku puisi cinta yang selalu ada di bawah bantalnya, serta VCD film romantis yang nggak pernah lepas dari tontonannya. Hmm... kenapa saat jatuh cinta waktu itu dia jadi kayak “cewek” ya? Nggak heran saat itu adik ceweknya sampai mengejeknya. Akan tetapi sekarang, ia rasanya ingin muntah jika berhadapan dengan segala yang berhubungan dengan CINTA.
            Erick berjalan pelan menuju sebuah lemari. Dibukanya laci di bawah lemari tersebut, dan dari dalamnya ia mengeluarkan sebuah kotak. Kotak berisi kenangannya bersama Ita. Ia mengambil seluruh barang yang ada di dalamnya. Foto-foto dan surat cinta, berbagai barang lain pemberian Ita, ataupun barang yang sempat mereka beli bersama.
            Usai mengamati barang-barang itu, perlahan ia meraih sepucuk surat di antara sekian banyak surat cinta yang bertumpuk dari Ita. Ia mulai merobek surat itu satu demi satu, hingga akhirnya habis tak bersisa. Puas! Sepertinya ‘beban’ di hatinya berkurang sedikit. Lalu pandangannya beralih pada foto-foto mereka. Kok rasanya sayang ya, kalau dirobek juga? Setidaknya, nanti gue bisa sedikit pamer sama orang-orang kalo gue pernah punya cewek yang cantik, pikir Erick - yang meski galau tapi ternyata masih bisa mikir juga.
            Foto itu pun tak jadi dirobeknya. Kali ini Erick melirik ke arah boneka lompat pemberian Ita. Boneka itu berbentuk badut yang siap mengagetkannya jika kotak kecil itu dibuka. Erick hendak membuangnya, ketika tiba-tiba ia mengurungkan niatnya itu. Boneka ini terlampau lucu untuk dibuang, bisiknya dalam hati.
            Selanjutnya ia melirik pada gantungan kunci berbentuk bola bowling yang dibelinya bersama Ita. Gantungan kunci itu susah payah mereka dapatkan, setelah hampir 2 jam mengitari sebuah mall. Itu juga tinggal satu-satunya, udah gitu pakai acara rebutan dulu sama anak kecil lagi. So pasti, Erick nggak mau ngalah dong. Enak aja, dia udah cari kemana-mana dan akhirnya dapat, masa’ mau menghilangkan kesempatan begitu saja. Akhirnya, dicarilah ‘jalan damai’, Erick dan Ita sepakat membelikan mainan untuk anak itu sebagai pengganti gantungan kunci tersebut. Sial! Mainan itu jauh lebih mahal!
            Lagi-lagi Erick membatalkan acara membuang gantungan kunci itu. Gue susah dapetinnya, sayang kalo dibuang, pikirnya.
            Demikian seterusnya, Erick gagal menyeleksi barang-barang tersebut dan tidak jadi membuangnya! Alasannya sudah tentu macam-macam : terlalu unik lah, terlalu mahal lah, terlalu keren lah, terlalu manis warnanya lah, terlalu jauh belinya lah (soalnya barang yang satu ini cuma ada di Jepang), terlampau murah lah (justru karena murah, dia mungkin nggak bisa lagi dapat barang seperti itu dengan harga yang sama), dan ‘terlalu-terlalu’ lainnya yang membuatnya tidak tega untuk menyingkirkannya.
            Keputusan terakhir : Erick menyimpan kembali benda-benda tersebut. Hanya surat yang dirobeknya dan hmm... terakhir ia melirik buku diary milik bersama yang ditulisnya bergantian dengan Ita. Ia pun tanpa pikir panjang merobek buku itu sampai sekecil semut... eh kutu ding (btw, lebih kecil kutu atau semut sih? ^^ ). Yang jelas Erick nggak sempet mikir karena udah pusing ‘abis’.
            Tiba-tiba didengarnya ponselnya beredering. Dari Ita! Cewek itu nangis-nangis minta maaf dan ngajak “balik” lagi. Mereka pun berjanji untuk bertemu di dekat pohon tauge di belakang sekolah besok siang.
            “Hiks... jangan lupa bawa diary kita berdua ya... Gue pengin baca lagi dari awal untuk mengingat kebersamaan kita dan nanti kita isi bareng lagi,” ujar Ita di tengah isak tangis penyesalannya.
            Dueeer!!! Ucapan itu serasa petir menggelegar di telinganya. Mampus deh gue! pekik Erick dalam hati. Ia sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi dengan suara Ita di seberang sana. Di pikirannya kini menari-nari bayangan Ita yang pasti akan memandangnya dengan bola matanya yang penuh kilatan api.
            Putus salah? Balik salah? Bener-bener gawaaaaat!!!

*   *   *


PS : story ini dimuat di majalah 'Story' sekitar tahun 2009
saya menggunakan nama samaran saat menulisnya ^_^
cerita ini dulu dibuat dari tugas saat saya dapat beasiswa sekolah penulisan di tahun 2005
waktu itu saya & teman-teman harus membuat sebuah cerita yang di dalamnya mengandung tindakan yang dilakukan oleh 5 panca indera manusia
jadilah saya menulis cerita ini ^^
barulah di tahun 2009 saya mencoba mengirimnya ke majalah & dimuat ^_~ 


Senin, 22 Oktober 2012

Misteri Puri Tua



 Misteri Puri Tua

Kami tiba di pelabuhan Southhampton pukul 8 malam. Ini adalah perjalanan kami yang pertama kalinya ke Inggris. Kami adalah sekumpulan anak nekad dari Amerika yang suka berpetualang. Perjalanan ini juga kami tempuh karena ada cerita yang mengatakan bahwa di Inggris bagian utara terdapat sebuah puri tua yang menarik untuk diselidiki.

       Kami berjumlah lima orang, yaitu Adam, Bobby, Donny, Diva, dan aku. Begitu mendengar kabar tentang puri tua itu, kami langsung berniat pergi ke Inggris, sekaligus mengisi liburan musim panas tahun ini.
            Aku menjunjung koporku yang lumayan berat, begitu juga dengan keempat temanku. Mereka tampak kerepotan sekali seperti halnya aku.
       Adam melambaikan tangannya pada sebuah taxi yang mangkal tak jauh dari situ. Secepat kilat taxi itu pun meluncur ke arah kami dan berhenti tepat di hadapan kami. Kami pun segera naik menuju penginapan. Sampai di penginapan, kami tertidur karena kelelahan.

*   *   *

            Keesokan harinya, setelah sarapan kami langsung menyewa sebuah mobil untuk perjalanan ke kota Edinburg, tempat puri tua itu berada.
            Edinburg memang cukup jauh dari London, sehingga kami baru sampai di sana menjelang malam. Kota Edinburg tidak seramai London, bahkan jalan-jalannya pun lengang. Hanya beberapa orang saja yang lalu-lalang di jalan itu.
            Adam menghentikan mobil dan bertanya pada salah seorang dari mereka yang lalu-lalang di jalan tersebut.

            “Maaf, Pak... apa benar di kota ini terdapat sebuah puri tua?”

            “Oh... ya...ya...benar,” jawab bapak itu menganggukkan kepalanya.

            “Apakah jaraknya masih jauh dari sini?” tanya Adam lagi.

            “Tidak, sebentar lagi juga kelihatan. Terus saja ke utara, puri itu terletak dekat teluk Fourth,” jawab bapak itu sambil tangannya menunjuk ke arah utara.

            “Benarkah?” ujar Adam dengan gembira. “Terima kasih atas petunjuknya, Pak.”

            “Mau apa kalian ke sana? Kata orang, puri itu berhantu! Lebih baik kalian tak usah ke sana,” cegah bapak itu.

            “Tidak apa-apa. Kami tidak takut hantu, Pak,” tukas kami bersamaan.

            Adam menyalakan mesin mobil. “Permisi, Pak... sampai bertemu lagi.”

       Mobil pun bergerak meninggalkan bapak itu. Sayup-sayup terdengar suara bapak itu,"Hati-hati!”

         Kami meneruskan perjalanan. Memang benar... ternyata menara puri itu sudah terlihat. Berarti jaraknya tak jauh lagi.

            Akhirnya sampailah kami di puri tua itu. Puri itu besar sekali dan menyeramkan!

            Kami memegang kopor masing-masing dan memandang ke arah puri itu.

            “Inikah purinya?” tanya Diva dengan suara gemetar.

            “Ya... benar...” jawab Bobby pula dengan suara tersendat. Tampaknya ia ketakutan.

            Aku memperhatikan puri tua yang besar itu. Memang menyeramkan sekali! Banyak kelelawar di kiri – kanan menara. Tembok-temboknya sudah terkelupas. Tumbuhan merambat di jendela menaranya...
            “Oke... kita masuk,” ujar Adam sambil mengeluarkan senternya.
            Kami tampak ragu dan memandang ke arah Adam.
            “Takut?” tanya Adam lagi.
            “Ah... tidak ... tidak,” sahut kami bersamaan, lalu mengeluarkan senter kami masing-masing.
            Pintu berderit nyaring ketika Adam mendorongnya, bulu kuduk kami serasa berdiri mendengarnya. Kalau mau jujur, sebenarnya kami semua takut! Hanya Adam yang kelihatannya tenang-tenang saja. Atau ia pura-pura tidak takut karena sebagai ketua kelompok, ia harus terlihat berani? Tak seorang pun yang tahu apakah Adam sama takutnya seperti kami. Ia malah sibuk mencari-cari saklar lampu, sedangkan kami hanya berdiri diam di dekat pintu sambil membantu menyinari ruangan dengan senter kami.
            “Aha... ini dia!” seru Adam tiba-tiba.
       Lalu tak lama kemudian ruangan itu pun terang. Kami merasa lega sekali karena akhirnya Adam berhasil menemukan saklar itu. Kalau tidak...
            “Ckk... ckk... luas dan bagus sekali ya!” pekik Diva kagum.
            Semua memandang berkeliling. Memang ruangan itu bagus sekali! Seperti istana! Di ruang itu juga terdapat perapian dan lukisan-lukisan yang bagus. Di kanan dan kirinya terdapat tangga yang menuju ke lantai atas.
            Karena puri itu sudah tua, maka tak heran jika banyak sekali sarang laba-laba dan itu semua harus kami bersihkan. Setelah kami membersihkan ruangan itu, kami pun duduk berkeliling sambil memakan bekal kami.
            Malam semakin larut, tapi kami belum tidur. Perasaan takut masih menghantui kami. Maka kami mengobrol untuk menghilangkan rasa takut itu.
          “Ngomong-ngomong, apa benar puri ini ada hantunya?” tanya Diva sambil memandang ke sekeliling ruangan itu.
             “Ah... paling hanya takhyul,” ujar Bobby kesal.
           Entah kenapa sehabis Bobby berkata demikian, angin kencang berhembus di ruangan itu. entah darimana datangnya! Lukisan-lukisan di dinding berderak-derak, lampu berkelip-kelip, sebentar menyala – sebentar kemudian mati. Kami semua saling berpandangan. Diva memelukku erat-erat. “Erin, aku takut!” serunya setengah berteriak.
       “Bobby, seharusnya kau tak mengatakan kalau ini takhyul,” sahut Donny sambil membetulkan kacamatanya.
      Bobby terdiam. Ia merasa bersalah, karena dia... kami semua ketakutan. Adam menepuk-nepuk pundak Bobby. “Sudahlah... tak usah cemas. Aku juga tak yakin kalau ini perbuatan hantu.”
        Semalaman kami tak bisa tidur karena dicekam ketakutan yang amat sangat. Esok paginya kami semua mengantuk. Pagi ini, Adam, Bobby dan Donny pergi mencari kayu bakar untuk menyalakan perapian malam nanti. Akhirnya tinggallah aku dan Diva berdua saja di puri itu. Mulanya kami masih takut, ingat kejadian tadi malam. Lama-kelamaan hilanglah rasa takut itu. Sebentar kemudian kami berdua sudah menyusuri koridor di puri itu, lalu naik ke lantai atas. Ketika sampai di lantai atas - kami membuka jendela-jendela - sehingga udara segar pun masuk ke puri. Tiba-tiba terdengar seruan Diva,”Erin, kemarilah... ada sesuatu yang bagus!”
        Aku segera menuju ke arah datangnya seruan Diva. Kulihat Diva berdiri di balkon sambil mengarahkan padangan pada pemandangan di bawahnya. Wah! Indahnya! Kami menganga seolah tak percaya. Begitu indah pemandangan itu. Ternyata di belakang puri itu terdapat Laut North dan Teluk Fourth yang dikatakan oleh bapak yang kami temui di kota kemarin malam.
         Cukup lama kami memandangi keindahan pemandangan dari balkon puri itu, ketika tiba-tiba Diva merasa haus dan ingin ke bawah untuk minum. Tampaknya Diva sudah tak merasa takut lagi, karena ia tidak minta kutemani. Maka tinggallah aku sendiri di balkon itu sambil terus memandangi indahnya lautan di depanku.
            Setelah puas memandanginya, aku bermaksud untuk turun ke bawah karena Diva tak kunjung datang. Baru saja aku berbalik, betapa terkejutnya aku! Tiba-tiba di depanku berdiri seorang laki-laki tinggi memakai jubah hitam, mirip vampir! Aku terkejut setengah mati! Ingin rasanya aku berteriak, tapi tenggorokkanku serasa tercekat.
         Laki-laki itu memandangku dengan tatapan dingin. Parasnya mirip seorang wanita... cantik! Rambutnya pun panjang dan hitam, tapi wajahnya pucat seperti mayat.
            “Siapa kau?” Suara itu keluar dari bibirnya yang tipis dan merah.
            “Na... namaku Erin...” jawabku gugup.
            Apakah orang ini hantu? tanyaku dalam hati. Jantungku berdegup keras. Aku takut sekali!
            “Erin?” tanyanya dingin.
            “Ka... kau siapa?” Aku balik bertanya.
            “Namaku Valiant,” jawabnya singkat.
            “Kau ini apa?” tanyaku lagi. Tiba-tiba saja muncul keberanian dalam diriku.
            “Aku ini vampir!”
            “Hah?” Aku bengong. Sebentar kemudian aku tertawa. “Masa iya, di zaman seperti ini ada vampir.”
            “Kau boleh percaya, boleh tidak...” ujarnya masih menatapku dengan dingin.
      Tatapan itu membuatku kaku! Akhirnya aku pun lari sambil berteriak,”Diva... tolong...!!!”
            Aku menuruni anak tangga secepatnya. Nafasku terengah-engah. Kakiku gemetaran seperti dikejar hantu. Tapi ini bukan hantu, melainkan vampir!
          Ternyata di bawah sudah berkumpul Adam, Bobby, Donny, serta Diva. Mereka tampak heran melihatku.
            “Erin darimana saja kau?” tanya Adam.
            “A... aku... me... melihat...” Aku tak segera meneruskan ucapanku.
            “Sudah... tenangkan dirimu...” sahut Donny sambil menyodorkan segelas air putih.
        Aku meneguk air itu, lalu menenangkan diri. Diva sepertinya sangat khawatir melihatku, begitu juga dengan yang lainnya. Tetapi aku mengatakan kalau aku tak apa-apa.
       Mungkin karena sangat lelah, kami bisa tidur pulas malam itu. Aku pun mencoba melupakan kejadian tadi siang.

*   *   *

          Pagi harinya, Adam, Bobby dan Donny pergi ke kota. Maka seperti halnya kemarin, aku dan Diva tinggal berdua di puri itu. Ini adalah hari kedua kami tinggal di puri tersebut. Lama-kelamaan puri itu bagi kami seperti rumah sendiri. Diva membereskan dapur, sedangkan aku membereskan kamar.
        Herannya, aku tak jera dengan kejadian kemarin. Aku masih saja berdiri di balkon tempat aku bertemu Valiant, si vampir itu! Rasa ingin tahuku bahkan semakin besar. Aku seperti sengaja menunggu kedatangannya.
          Tiba-tiba saja Valiant sudah ada di hadapanku. Masih mengenakan jubah hitamnya dan kerah kemeja yang tegak. Bibirnya menyungging senyum tipis ketika melihatku. Sikapnya tak lagi dingin seperti ketika pertama kali bertemu denganku. Aku juga tak lagi takut bertemu dengannya.
          Valiant duduk di salah satu kursi yang ada di situ. Tiba-tiba dari tangannya keluar sinar dan bagaikan sulap, ia memunculkan dua buah gelas berisi cairan merah.
        Apakah itu darah? Aku bertanya-tanya dalam hati. Aku bergidik ngeri, karena setahuku vampir memang meminum darah.
       Tampaknya Valiant tahu apa yang kupikirkan. Ia tersenyum memandangku sambil mengangkat gelas berisi cairan merah itu. Ia lalu berkata,Jangan takut... ini hanya jus tomat.”
            “Fiuuh...” Aku menarik nafas lega, lalu duduk berhadapan dengan Valiant.
            “Mari minum... sebagai tanda persahabatan,” ujar Valiant.
            “I... iya... terima kasih,” sahutku sambil mengangkat gelas itu dan meminumnya. Ah... segarnya!

*   *   *

        Begitulah, dari hari ke hari aku bersahabat dengan Valiant. Dia sangat baik! Yang kutahu, vampir suka menghisap darah manusia, tapi Valiant lain... Ia benar-benar vampir yang baik hati! Aku pun lebih suka tinggal di puri itu sendirian, jika keempat temanku pergi ke kota. Sampai pada suatu hari, mereka pulang dengan wajah pucat pasi.
            “Ada apa?” tanyaku heran saat melihat wajah mereka.
       “Erin, ada kejadian di kota!” jawab Adam tegang. “Banyak penduduk kota yang terbunuh, dan anehnya... mereka tewas dengan cara yang sama!”
       Bobby meneruskan,”Di leher mereka seperti ada bekas gigitan vampir dan tubuh mereka kehabisan darah!”
            “Vam... pir... mungkinkah...” Aku terdiam. Di benakku terbayang wajah Valiant yang ramah. Mana mungkin dia melakukan ini? Dia juga sudah tidak pernah lagi minum darah. Kalau dia mau menghisap darah, pasti sekarang ini aku sudah mati! Bermacam-macam pikiran berkecamuk dalam diriku.
            Esok harinya, keempat temanku pergi ke kota lagi untuk mendapatkan keterangan lain mengenai kejadian kemarin. Sedangkan aku tinggal di puri seperti biasanya dan inilah saatnya aku bertanya pada Valiant.
            Aku berdiri di balkon dan menunggunya. Tak lama kemudian Valiant pun datang, entah darimana dia muncul. Aku tak pernah tahu... Anehnya... kali ini bibirnya merah sekali, seperti habis... menghisap darah!
         Aku memperhatikannya dengan tegang, tapi aku berusaha untuk mengatasi ketegangan itu dengan mencoba tersenyum padanya. Valiant pun membalas senyumanku dengan ramah. Ia lalu memunculkan sesuatu dari tangannya dan bak seorang tukang sulap, tiba-tiba saja ia menggenggam seikat bunga mawar, kemudian menyerahkannya padaku.

        “Terima kasih...” ujarku sambil menerima bunga itu. “Darimana kau dapat bunga-bunga ini?” tanyaku.    

        “Aku memetiknya ketika sedang jalan-jalan di kota,” jawabnya santai.
       Aku terkesiap. Jalan-jalan di kota? Apa benar dia yang melakukannya? Hatiku terus bertanya-tanya, sampai akhirnya...
         “Maaf Valiant... maukah kau berterus terang padaku?” tanyaku hati-hati.
         “Terus terang?” tanya Valiant tak mengerti.
         “Apa yang kau lakukan di kota?”
           Valiant diam. Ia menunduk. “Kau sudah tahu ya? Maaf Erin... aku...”
        “Menghisap darah orang-orang di kota?” ujarku meneruskan. “Mengapa harus mereka? Bukan aku?”
         Valiant tak menjawab. Ia memandang ke arah langit malam yang gelap. “Selama ini aku sendirian di puri ini... aku sangat kesepian! Sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Erin... kau adalah sahabatku satu-satunya.”
          “Itu bukan alasan!” Aku mencibir. “Kau janji tak meminum darah lagi kan?”
          “Maaf Erin, aku tak tahan...” sahut Valiant pelahan.
    “Baiklah kalau begitu... aku tak sudi berteman denganmu!” sahutku ketus, lalu meninggalkan Valiant yang berdiri mematung di balkon itu.
         Aku menuruni anak tangga dengan kesal. Ketika sampai di bawah, ternyata keempat temanku sudah kembali dari kota.
           “Erin, kamu selalu menghilang,” ujar Diva terlihat agak panik.

           “Iya, kami takut kamu diculik hantu di puri ini,” Bobby menambahkan, tapi terlihat ia mengucapkannya sambil agak bercanda.

           Aku tersenyum kecut. Bukan hantu, tapi vampir pembunuh! seruku dalam hati. 

        
        Malam itu, kami mendiskusikan tentang kejadian di kota. Tapi tiba-tiba lampu berkelip-kelip, lalu datang angin kencang dan lukisan berderak-derak seperti saat pertama kalinya kami tiba di puri ini.

        Semuanya berpegangan. Tiba-tiba berkelebat bayangan hitam, di antara kami. 

        “Apa itu!” seru mereka bersamaan.
        Aku terdiam. Pasti ini perbuatan vampir jelek itu!

      Akhirnya ruangan itu terang kembali, tapi keempat temanku pingsan. Hanya aku yang tidak. Baru saja aku hendak melihat keadaan mereka, ketika tiba-tiba Valiant menghalangiku.
      “Aku akan menghisap darah mereka satu-persatu!” kata Valiant dengan kasar. Wajahnya tak lagi ramah, tetapi mencerminkan kemarahan. “Erin... hanya kau-lah sahabatku!”
      “Tidak Valiant! Kalau kau lakukan itu, kau bukan sahabatku!” sahutku dengan marah.
             
        Valiant tak menggubrisku. Ia sudah bersiap akan menggigit leher Adam.
     Aku terus-menerus menarik jubahnya. “Valiant... kau bilang kau kesepian! Aku juga! Kalau mereka mati, maka aku juga akan sendirian dan kesepian sepertimu! Aku juga butuh sahabat! Kau juga sahabatku Valiant! Sahabatku yang terbaik!” Aku menangis sambil terus menarik jubah Valiant.
         “Erin, aku tak melakukan apapun kok.”
         Tiba-tiba aku mendengar suara Valiant yang lembut. aku mendongakkan kepalaku dan terlihatlah wajah Valiant yang ramah. Ia tertawa. “Aku hanya bercanda,” sahuntnya sambil tersenyum padaku.
          Aku pun membalas senyumannya.
       “Aku tak minum darah lagi. Aku janji! Aku hanya minum jus tomat,” ujarnya sambil tertawa.
        Aku lega sekali. Aku mengulurkan tanganku. “Ayo jabat tangan. Besok aku akan pulang.”
          “Hmm... tapi janji kau ke sini lagi ya,” sahut Valiant menjabat tanganku.
          “Yup... aku janji!”
      Aku memandang pada teman-temanku yang masih pingsan. “Mereka bagaimana?” tanyaku bingung.
       “Ah... sebentar lagi mereka akan sadar,” jawab Valiant. “Sambil menunggu mereka sadar, ayo kita jalan-jalan mengitari puri untuk terakhir kalinya, sebelum kau pulang,” ajak Valiant.
            Aku mengangguk. “Oke...”
       Dalam hatiku, aku sangat sedih akan berpisah dengannya. Selamat tinggal Valiant sahabatku. Mungkinkah aku mendapatkan sahabat sepertimu lagi?


-------------------------------------------------------------------------

* PS : story ini dulu diterbitkan di tabloid Hoplaa sekitar tahun 1999 ^^
dari kecil, saya suka sekali cerita tentang vampir; makanya saya langsung terinspirasi & membuat cerita ini ^_~
saya sempat membuat sequel dari cerita ini, tapi sayangnya belum saya publish 
hehehe coba saya waktu itu iseng menjadikannya novel ya... pastinya jadi duluan saya deh yang membuat kisah cinta antara vampir & manusia sebelum 'Twilight'
Anyway, ada hal-hal yang waktu itu masih dianggap aneh di Indonesia 
Saat saya membuat sequel dari cerita ini & ada cinta antara vampir - manusia, sebuah majalah mengatakan kalau mereka lebih menyukai cerita yang 'masuk akal'
hohoho coba saya nggak terpengaruh dengan kata-kata tidak masuk akal itu ya coz nyatanya kisah cinta itu kan universal seperti yang dituangkan Stephanie dalam novelnya 
btw, sampai sekarang saya masih belum mau menyentuh novel itu karena teringat ide saya yang padahal sudah muncul sejak tahun 2000 huhuhu ya sudahlah...
saya juga belajar dari Stephie *I call her like that, it's nice ^^* karena dia pun dulu novelnya sempat ditolak oleh beberapa penerbit
tapi dia bisa membuktikan kalau karyanya layak baca & tetap punya segmentasi penggemar ^_^