Welcome to my lovely blog ^_^

I named this blog with 'Queen of Rain', because it reminds me of Roxette's song that has the same title

But I also have another reason, it's because I like rainy season ^^

Sometimes, I feel sad when I saw the rain...

It brings me back to lots of memories...

I also think that sometimes at those rainy times, it feels like such a romantic moment ^_~

Minggu, 16 Desember 2012

Bidadariku 'Tlah Kembali

BIDADARIKU ‘TLAH KEMBALI



Kalau aku udah pindah nanti, kamu janji ga bakal ngelupain aku kan?”
“He-eh…pasti!”

*   *   *

            Fiuuh…aku terbangun dari tidurku. Berkali-kali kata-kata itu selalu terngiang dalam mimpiku. Itu kan janji zaman SD, masa’ sih gue ga bisa ngelupa’in itu, sungutku dalam hati sambil mengikat sepatuku setelah sarapan.
            “Bimo, ini uang jajannya,” teriak mama dari dalam sambil menyusulku.
            Oh iya! Aku sampai lupa dengan hal ‘penting’ semacam itu. Tanpa itu, bisa-bisa aku ‘cengo’ seperti kucing ompong saat melihat teman-teman jajan di kantin. Eh…salah ding, maksudku ‘sapi ompong’. Aku bergegas ke dalam lagi untuk mengambilnya dan sekali lagi aku mencium pipi mama sebelum berangkat.
“Abis sekolah, langsung pulang ya,” seru mama kala aku melambaikan tanganku dan tersenyum padanya di dekat pintu gerbang.
“Beres!” Aku mengacungkan jempol sambil segera berlari. Sepuluh menit lagi bel berbunyi. Meski rumahku berada tepat di belakang sekolah, bukan berarti aku bisa santai kan?
            Aku memasuki kelasku, ketika kulihat Alda sedang tertawa cekikikan dengan beberapa cowok dari kelas sebelah. Gile bener! Dia kan pacarku! Kok seenaknya gitu sih tertawa dan bercanda sebebas itu. Udah gitu, mesra banget lagi! Aku terus mengerutu dalam hati sambil memperhatikan cewek cantik berambut lurus itu dari bangkuku. Rambutnya itu emang luar biasa Te-O-Pe, makanya dia jadi model iklan shampoo. Nah tuh… tambah lagi kan kegiatannya yang bikin dia bakal makin dekat sama cowok-cowok lain, selain aku.
Bel berbunyi dan Alda pun bergegas masuk kelas sambil menebar senyum manis padaku serta pasang tampang wajah ‘ga berdosa’. Idih…dia ga nyadar apa, kalo aku udah dari tadi merhati’in dia. Apa dia emang pura-pura ga liat or matanya yang normal itu sekarang kudu pake kacamata?
“Eh, Bimo…udah datang ya?” sapanya sambil langsung duduk di sebelahku.
Puh! Dari tadi tahu, gue ada di sini dan melihat senyum ‘maut’-loe yang hampir membunuh cowok-cowok itu! batinku kesal sambil memandangnya dengan BeTe.
“Kok diem aja? Lagi BeTe ya?” tanyanya lagi sambil menggoyangkan lenganku.
“Tuh, Pak Ramlan dateng. Mending balik ke tempat duduk-loe gih,” ujarku seolah tidak mengindahkan ucapannya.
Alda langsung cemberut, tapi kemudian tersenyum lagi. “Ya udah, sampe nanti ya…” ujarnya sambil melayangkan ‘kiss bye’ ke arahku dan menuju bangkunya.
            Jujur! Aku benar-benar menyukainya! Tapi, sikapnya itu kok ya bikin aku ‘gondok’ hampir setiap hari. Aku sudah berusaha untuk bersabar, tapi…
“Yak! Keluarkan PR kalian.” Suara Pak Ramlan mengejutkan aku. Kontan aku langsung bergegas meraih tas dan mengeluarkan buku bahasa Inggrisku dan…mati aku! PR-ku tertinggal di rumah!
Dodo teman sebangkuku terlihat memasuki kelas dengan wajahnya yang pucat. Ia terlambat! Pasti ia lebih ‘mati’ lagi daripada aku. Tuh kan, Pak Ramlan langsung menghampiri dan menegurnya,“Halo, Mas…rumahnya di HongKong ya?”
Seluruh kelas tertawa, sementara Dodo yang mukanya tadi pucat bak mayat kini mulai memerah bagai kepiting rebus. Untung saja, Dodo hanya disuruh berlari keliling lapangan sebanyak 5 kali. Tapi itu kan lumayan (Lumayan capek maksudnya). Terus, bagaimana denganku ya?
Pak Ramlan terus memeriksa PR dari satu bangku ke bangku lainnya, sampai tiba di bangkuku… “Mana PR-nya?” suara Pak Ramlan yang dekat di telingaku terdengar bagai kilat menyambar.
“Pak…eung…maaf, PR saya ketinggalan,” jawabku jujur.
“Nama saya Ramlan, bukan eung!” bentaknya sambil meralat sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. “Lagipula, kamu mau bohong sama saya? Cari alasan aja! ‘Basi’ tahu!” ujarnya makin marah dengan disisipi bahasanya yang tetep ‘gaul’.
“Bener, Pak….saya nggak bohong. Sudah saya kerjakan, tapi tertinggal di meja belajar,” sahutku membela diri.
Pak Ramlan menghela nafas. “Ya udah, hmm…rumah kamu deket kan? Sekarang juga kamu lari dan ambil tuh PR. Ga’ pake lama ya!” 
Aku mengangguk dan sambil menunduk minta izin pada Pak Ramlan, aku segera berlari secepat kilat ke rumahku. Di rumah, mama hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihatku yang nampak stress mengikat tali sepatu karena tak kunjung terikat. Baru saja aku hendak pergi… “Eh, ini bukunya!” teriak mama.
Aku kembali lagi dan segera meraihnya. “Makasih…daaah mama!!!”
Aku berlari sepanjang gang rumahku dan gedebruk! Alamak aku pake acara jatuh lagi. Bener-bener ‘ga lucu’ banget! Udah ketinggalan PR, sempat-sempatnya gue jatuh di sini, lagi-lagi aku bersungut dalam hati.
“Wah…kok jatuh, Mas… Hati-hati dong, jangan buru-buru gitu… Santai aja…” suara lembut seorang gadis diiringi tawa cekikikan nampak terdengar tak jauh dari tempatku jatuh.
Aku meliriknya dengan malu plus pengin tahu, kaya’ apa sih cewek yang berani-beraninya ngetawa’in cowok seganteng gue?! Busyet! Ternyata cantik banget! Lebih cantik dari bidadari! (Emang bidadari cantiknya kaya’ apa?)
Tanpa ‘ba bi bu’, aku langsung kembali berdiri dan ambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. Nanti aku ga mau lewat situ lagi ah! Aku mau ambil jalan memutar, niatku dalam hati.
Aku kembali memasuki kelasku dengan diiringi tatapan BeTe dari Pak Ramlan. “Lama amat, Mas. Main kucing-kucingan dulu sama tetangga ya?”
Aku hanya tersenyum malu. Dalam hati aku berseru, Bukan main kucing-kucingan, tapi ditertawakan seperti kucing yang jatuh dari pohon!
Segera saja kuserahkan PR-ku pada Pak Ramlan yang kemudian tersenyum melihat hasil pekerjaanku. “Bagus! Saya tahu, kamu pasti tidak malas,” ujar beliau sambil nyengir.
Yee…kenapa tadi mengira aku bohong? pikirku kekhi.
Mata pelajaran bahasa Inggris pun berlalu, dan sekarang tiba pelajaran Akuntansi. Ternyata Pak Charlie ga masuk, karena harus mengantar istrinya ke rumah sakit. Hehe…sebenarnya nama aslinya Pak Chaerul, tapi anak-anak lebih suka memanggilnya Pak Charlie. Katanya sih, biar terdengar ‘keren’ gitchu…
Meski tidak ada guru yang mengajar, kami tetap tidak diperkenankan keluar kelas. Jadi dengan berat hati, kami harus duduk manis dalam kelas sambil menanti guru piket datang menyampaikan tugas yang akan kami kerjakan.
Dodo menyenggol tanganku. “Psst…ada kiriman surat dari Tari,” bisiknya sambil menyerahkan secarik kertas yang terlipat rapi. Aku segera mengambilnya sambil sebelumnya melirik pada gadis bernama lengkap Cut Tari itu. Eit…bukan Cut Tari yang artis itu loh. Tapi memang banyak kesamaan antara Cut Tari dan cewek ini.
Ntar ikut main ke jalan Jaksa ga? Demikian isi suratnya.
Weits…nama jalannya kaya’ judul sinetron ya? Ups…bukan kok, ini jalan tempat aku dan teman-teman biasa mangkal sepulang sekolah. Letaknya juga ga jauh dari sekolahku. Di sana tempatnya asyik. Kita bisa hang-out sepuasnya and dapat kenalan baru. Jajanannya juga asyik, macam siomay Bandung yang luar biasa nikmat, ataupun sekedar makan gorengan yang juga tak kalah lezat. Minumannya juga…
Aku langsung berhenti melamunkan makanan dan minuman di sana, karena tiba-tiba saja di depanku sudah berdiri non Alda. “Ngapain ngelamun? Mikirin gue ya?” tanyanya dengan PeDe.
Aku menggeleng dan tersenyum padanya. Dalam hati aku berteriak,Ya! Gue juga mikir kenapa elo bisa-bisanya memperlakukan gue seperti ini. Loe anggap gue apa??? Makanya, mendingan gue mikirin jajanan di jalan Jaksa daripada mikirin elo.
“Tari ngajak gue ke jalan Jaksa.” Akhirnya aku menjawab dengan jujur.
“Tari?” Alda mengernyitkan dahinya. Nampaknya ia bingung, tapi tak berkata sepatah kata pun.
Ayo dong cemburu! batinku sambil memandangnya.
“Ya udah, gue ikut ya…”
Lha? Aku langsung bengong. Kira’in dia mau nangis-nangis nyuruh gue jangan ke sana. Eh, dia malah mau ikut.
Sebentar kemudian, Alda nampak mendekati Tari dan terlihat olehku, dia seperti merayu-rayu gadis berdarah Aceh itu. Duh! Kesempatan gue ilang buat bikin Alda cemburu, sungutku kesal. Aku tahu benar, sejak dulu Tari naksir aku. Cuma, di mataku yang terlihat hanya Alda seorang. Tapi, kaya’nya di mata Alda yang terlihat 1000 cowok! BeTe!!!

*   *   *

Akhirnya sepulang sekolah, kami sekelas beramai-ramai pergi ke sana. Loh? Kok jadi rame begini sih? Ini gara-gara Dodo yang ngintip surat Tari waktu aku lagi membacanya. Dasar sial!
Setibanya di sana, aku langsung memesan siomay plus es campur. Begitu pula teman-teman. Tapi Nana yang bertubuh gempal nampaknya ga cukup hanya makan siomay, dia juga membeli gorengan. Buatnya, memang ‘Tiada hari tanpa ngemil’.
Aku sedang tertawa bersama teman-teman, tatkala kulihat sebuah mobil mewah warna hitam meluncur dan…berhenti tepat di depan Alda.  Seorang cowok tampak menuruni mobil itu dan hei…dia lebih ganteng, lebih keren, lebih tinggi, lebih…lebih… Aku tak sanggup meneruskan penilaianku, karena cowok itu memang terlihat ‘ciamik abis’. Kaya’nya sih dia eksekutif muda gitu.
“Eh, Bim…itu kan cowok yang sering nemuin Alda.” Suara Dodo mengejutkanku.
Aku memandangnya dengan marah. “Kenapa loe baru bilang sekarang?” ujarku gemas.
“Kaya’nya gue udah bilang dari kapan tahu deh, tapi loe-nya ga perduli and malah ga percaya.”
Aku langsung berusaha mengingat-ingat. O iya! Kaya’nya waktu itu Dodo udah bilang dan memperingatkanku, tapi aku ga mengindahkannya dan malah hanya tertawa sambil berlalu. Aku memandang Alda dari kejauhan. Bener-bener ga merasa bersalah. Udah jelas aku ada di sini, tapi dia kok…
“Gue pulang ya…” Aku langsung meraih tasku dan meninggalkan teman-temanku. Mereka semuanya memandangku dengan prihatin sambil berusaha menenangkanku. “Kalian nyantai aja… Lagipula gue emang udah janji sama nyokap mau pulang cepet,” ujarku sambil berusaha untuk tersenyum. Padahal hatiku marah dan sakit. Ingin rasanya aku menghampiri cowok itu dan menghajarnya!

*   *   *

Sampai di rumah, aku disambut mama dan…aduh mak! Cewek yang tadi pagi ngetawa’in aku waktu jatuh!
“Eh, Bimo baru pulang. Udah ditunggu dari tadi loh,” ujar mama sambil tersenyum dan melirik cewek itu sekilas. Mungkin ingin tahu expresinya waktu melihatku. Maklum…selama ini mamaku always PeDe kalau anaknya emang paling cakep sedunia.
Aku garuk-garuk kepala seperti orang ketombean, padahal nggak. Hehe…ini karena aku canggung di hadapan cewek itu.
“Ini Alma. Masih ingat, nggak?” tanya mama sambil membantuku meletakkan tasku.
Alma? Aku mengernyit. Kaya’nya pernah denger deh. Dia kan… Aku berhenti sejenak. Ya ampun! Dia kan tetangga dan teman mainku waktu kecil! Saat SD kelas 6 dia sekeluarga pindah rumah. Dan setelah itu, kontak kamu terputus begitu saja. Menyedihkan…
“Iya! Aku inget!” seruku dengan semangat ’45 hingga mengejutkan mama dan tentu saja Alma. Namun sebentar kemudian mereka berdua tersenyum.
“Alma dan keluarganya pindah lagi ke sini. Sekarang mama dan papanya masih di luar kota, karena itu Alma dan kakaknya datang duluan ke sini. Kakaknya siang ini lagi kuliah, jadi Alma main ke sini, ” jelas mama.
“Ooh…” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutku, karena selanjutnya kami bertiga mengobrol. Setelah itu, aku mengantarnya pulang.
“Makasih ya udah dianterin,” ujar Alma sambil tersenyum manis.
“Sama-sama,” balasku dengan senyuman yang aku yakin ga kalah manis.
“Oh ya…lututnya…” Alma berhenti sejenak sambil memandangi lututku yang tadi luka waktu jatuh. “Maaf ya tadi gue ngetawa’in elo,” katanya dengan nada menyesal.
“Ga pa-pa kok,” sahutku enteng.
“Kalo gitu… SYUKURIN!!!” Tiba-tiba Alma berteriak lantang sambil tertawa-tawa dan berlari masuk rumahnya.
Sial! Gue dikerja’in! Tapi aku malah ikut tertawa sambil melambai padanya. Awas ya! Gue akan jadikan loe pacar gue menggantikan Alda, si playgirl itu! tekadku dalam hati. Namanya hampir mirip kan? Hehehe…
           Lagipula, hmm…’bidadari kecilku’ yang dulu telah kembali. Bidadari yang selalu muncul dalam mimpiku. Aku memang tidak bisa melupakannya. Dia adalah teman terbaikku sejak dulu, dan sekarang… bakal jadi pacar kali yee…

*   *   *   *  *
                                                                                         August ‘15th , 2005 


------------------------------------

Story ini memang dibuat Agustus 2005, tapi saya lupa dimuatnya tahun berapa ya? hehehe 

Yang jelas, lagi-lagi saya tidak tahu kalau cerita saya ini ternyata dimuat di sebuah tabloid karena tahu-tahu saya memperoleh sesuatu dari mereka ^^ 

Yupz... tepatnya di tabloid 'Gaul'

Seingat saya, waktu itu majalah 'Story' baru saja edisi-edisi awal, jadi kemungkinan cerita saya itu dimuat sekitar tahun 2009

Sedihnya... saya yang tidak pernah berlangganan (karena saya membeli kalau saya sempat ke toko buku atau penjual majalah), alhasil saya kehabisan edisi dimana cerpen saya ini dimuat T_T


My First Love


MY FIRST LOVE

 

            Saat itu, umurku masih 13 tahun. Aku yang kala itu duduk di kelas 2 SMP mungkin masih belum mengetahui apa itu ‘cinta’. Yang kutahu, aku mulai merasakan ‘gejolak’ aneh yang seringkali terasa dalam dadaku. Gejolak itu timbul tiap kali aku melihatnya, dan perasaan itu makin tak menentu saat aku berdekatan dengannya.

            Aku yang merasakan tahun ajaran baru di kelas 2 ini, tidak merasakan perubahan apapun. Aku masih saja seorang gadis lugu yang ‘dipingit’ oleh orang tuaku. Ayah terlampau ‘over protective’ padaku. Maklumlah, aku adalah anak perempuan satu-satunya. Dua kakakku laki-laki, adikku pun laki-laki.
            Tiap kali sepulang sekolah, aku langsung pulang ke rumah. Paling banter, aku pergi ke toko buku untuk sekedar membaca-baca berbagai buku di sana, atau membeli komik Jepang yang kusuka.
            Siang itu, seperti biasanya aku bergegas pulang ke rumah. Tak biasanya rumahku yang sepi itu kini ‘agak’ ramai. Aku segera masuk ke rumah untuk mencaritahu apa yang terjadi di dalam sana. Pelan-pelan kubuka pintu depan dan menutupnya dengan hati-hati. Aku berjingkat melewati ruang tengah, terdengar suara ramai dari ruang bermain yang terletak di sebelahnya. Ya… ruang itu adalah tempat dimana kakak dan adikku biasa bermain playstation.
            Aku berhenti di depan pintu ruang itu, lalu melalui celah pintunya aku mencoba melihat ke dalam. Tampak olehku, kakakku Andrei sedang asyik-asyiknya bermain playstation dengan…hmm…siapa ya? Aku mencoba memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. Ah, ya… dia pasti teman baru kakak di kampusnya.
            Baru-baru ini Andrei diterima di program Diploma, di sebuah universitas ternama. Kakakku yang nomor dua ini gagal masuk SPMB. Mulanya ia hendak mengikuti jejak kakak sulungku yang berhasil lolos SPMB tahun lalu di universitas yang sama. Namun apa hendak dikata, Andrei harus cukup puas dengan program Diploma-nya sekarang. Meski demikian, ia pun harus menghadapi saingan yang tidak mudah. Andrei harus mengalahkan sekitar 3000 orang, dan syukurlah… akhirnya ia mampu terpilih dalam 75 orang yang diterima di sana.
            Aku masih mengamati teman kakakku itu melalui celah pintu. Wajahnya lucu, seperti perempuan. Apalagi didukung dengan kulitnya yang putih dan rambut yang dibiarkan panjang melewati lehernya. Di dalam sana, nampak ia tertawa-tawa dengan kakakku sambil asyik memainkan playstation dengan joystick-nya.
            Perhatianku terpecah, saat kudengar panggilan mama. Aku bergegas ke dapur dan mendapati mama yang tengah meracik sirup lychee dan menata kue-kue di piring kecil. Begitu melihatku mama langsung tersenyum, lalu menunjuk pada nampan berisi sirup dan kue tadi.
            “Tolong antar ini ke ruang bermain,” ujar mama.
            Sejenak aku terdiam, namun tak lama kemudian aku pun mengangguk dan segera meraih nampan tersebut, setelah sebelumnya meletakkan tasku di kursi.
            Pelan-pelan aku menguak pintu ruang bermain dan mendapati dua pasang mata yang menoleh ke arahku, tapi kemudian mata itu kembali memelototi layar TV karena game yang mereka mainkan belum usai. Namun tiba-tiba…
            “Yaah…mati!” teriak cowok itu dengan kesal diiringi tawa kakakku.
           Hampir saja nampan yang kubawa terjatuh, untung dengan sigap aku segera meletakkannya di karpet.
            “Yuk, kita makan kue dulu,” ujar kakakku yang langsung disambut dengan uluran tangan cowok itu, yang segera meraih kue coklat di piring.
            “Hmm…enak...” kata cowok itu sambil asyik mengunyah.
            Aku tersenyum geli melihat expresinya.
            “Manda, ngapain kamu di sini?” Tiba-tiba suara kakak membuyarkan lamunanku. Kulihat kakakku itu mengarahkan jempolnya ke arah pintu.
            “Ayo…out…gue mau ngobrol sama Livery…”
            Cowok yang ternyata bernama Livery itu melihatku sekilas, lalu kembali sibuk dengan kuenya. Dengan agak kesal, aku pun segera keluar dari ruangan itu.
            Apa-apaan sih kak Andrei! pikirku sebal. Aku melempar tasku dengan kesal ke tempat tidur.
*   *   *
            Tidak biasanya aku menolak ajakan teman-teman ke toko buku. Entahlah…aku rasanya ingin cepat pulang ke rumah. Aku berharap, cowok bernama Livery itu datang lagi.
            Dan ternyata dugaanku tidak salah! Dari ruang tengah terdengar obrolan seru kak Andrei dengan Livery. Kali ini pun, aku mengantar nampan berisi sirup dan kue untuk kakak dan temannya yang manis itu. Seperti kemarin, Livery hanya melihatku sekilas lalu meneruskan melahap kuenya.
            Aku sebenarnya bingung, kenapa aku ini? Dia rasanya tidak pernah perhatian padaku, tapi kenapa aku merasa ingin tahu lebih banyak tentang dirinya? Sorot matanya yang dingin itu… kenapa tiap kali melihatku, dia seperti itu?
            Kejadian itu terus berlangsung, karena Livery sering sekali bermain ke rumah kami. Ia juga seringkali meminjam kaset playstation kak Andrei, atau sekedar menonton VCD animasi Jepang kesukaannya. Nampaknya, ia dan kakakku memiliki hobby yang sama : main playstation dan menonton animasi Jepang.
            Sampai pada suatu hari, Livery datang lagi dan aku yang berada di teras rumah, mau tidak mau bicara dengannya. Apalagi dia yang lebih dulu bertanya padaku.
            “Manda, Andrei ada nggak?” tanyanya acuh tak acuh.
            “Oh…eh…iya…ada di dalam…masuk saja…” ujarku gugup.
            Ia pun bergegas memasuki rumah. “Permisi ya…”
            Nampaknya keluargaku sangat menyukainya. Bahkan kakak sulungku sering pula nimbrung dengan obrolan dia dan Andrei. Begitu pula adikku, ia sering sekali bertanding playstation dengannya. Aku benar-benar iri, aku selalu berharap seandainya saja aku bisa berada di tengah-tengah mereka dan berbicara tentang kehidupan cowok-cowok seperti mereka.
            Namun anehnya, Livery yang supel pada seluruh keluargaku, tidak menampakkan respon yang menyenangkan di hadapanku. Ia tetap saja ‘dingin’ tiap kali bertemu denganku, malah aku yang sibuk mengatasi kegugupanku dan debaran jantung yang tak karuan. Alhasil, aku hanya bisa melamunkan dirinya jika aku berada di kamar. Membayangkan wajahnya yang sedang tersenyum, atau berbicara dengan antusias. Ia sungguh membuatku terpesona!
            Selidik punya selidik, ternyata Livery lulusan sekolah khusus pria. Pantas saja ia bersikap seperti itu padaku. Tapi aneh juga, padahal kudengar dari mama, kalau dia juga punya adik perempuan bungsu yang masih SD. Setidaknya, ia harusnya masih bisa menerimaku yang juga perempuan.
            Aku makin bingung dengan perasaanku. Aku jadi takut. Apa ini yang namanya ‘cinta’? Aneh memang, padahal rasanya Livery tak pernah ‘melihatku’, tapi kenapa dalam hatiku, dia begitu ‘berarti’? Ketika dia tak datang, rasanya rumah kami sepi, sesepi hatiku. Kalau dia tertawa, rasanya dunia ini menjadi indah! Aku selalu berpikir, mungkin lebih baik begini… menyimpan rasa sukaku hanya dalam hati saja.
            Sampai beranjak ke bangku SMU, perasaanku tak berubah. Aku menganggap Livery adalah ‘cinta pertama’-ku. Aku benar-benar tak bisa melupakannya. Entahlah… meski ia hanya sesekali bicara denganku, tapi itu sudah cukup. Asal bisa ‘memandang’nya dari jauh, rasanya itu pun sudah cukup bagiku.
            Aku tahu, mungkin Livery hanya akan menganggapku sebagai adik. Biarlah… aku memendam rasa cinta ini. Yang kulakukan saat usiaku yang ke-15 ini adalah menuangkan rasa sukaku pada Livery dengan menulis… menulis… dan menulis… Aku membuat sebuah novel. Novel manis dan romantis yang berisi seluruh khayalanku tentang Livery, novel yang mewakili seluruh perasaanku padanya. Cinta murni sejak SMP, yang kujaga hingga kini.
            Aku selalu berpikir… gadis seperti apa yang disukai Livery. Akhir-akhir ini, tiap kali datang ke rumahku, wajahnya nampak berseri-seri. Sejak satu setengah tahun lalu, kakakku sudah pindah jurusan. Yah… ia sudah mencoba ‘mengadu nasib’ lagi lewat SPMB dan berhasil! Mulanya ia ingin mempertahankan kuliah Diploma-nya juga, sembari mengambil kuliah regulernya. Namun ternyata tidak semudah yang ia kira, program Diploma-nya banyak menyita waktu dan banyak berbenturan dengan kuliah S1-nya. Akhirnya diputuskan, ia meninggalkan program Diploma-nya dan memfokuskan pada kuliahnya sekarang. Yang aku heran, kenapa Livery masih suka bermain ke rumah kami? Meskipun memang intensitasnya tidak sesering dulu.
            Aku makin merasa Livery mulai jarang main ke rumah. Dengar-dengar sih, dia sedang sibuk mengerjakan tugas akhirnya. Lagi-lagi aku merasakan ‘keanehan’ pada perasaanku. Perasaan ini… mengapa aku merasakan kerinduan yang memuncak, di saat dia tidak datang ke rumah.
            Aku juga merasakan hal lain… yah… rasa ini… kecemburuan yang muncul dalam hatiku. Aku jadi berpikir, jangan-jangan ada gadis yang disukainya. Kalau ya, siapa dia? Seperti apa wajahnya? Penampilannya? Tingkahnya? Sifatnya? Aku merasa sedih, kecewa, takut, dan cemburu. Semua rasanya bercampur menjadi satu dalam hatiku. Dan dari kesemuanya itu, timbul satu ungkapan dalam benakku : Betapa beruntungnya gadis itu!
            Tak terasa waktu berlalu, kini aku sudah menginjak bangku kuliah. Novelku laris manis. Aku benar-benar tak menyangka! Yang kutulis hanyalah ungkapan hatiku, kisah cintaku yang ada dalam khayalan indahku. Khayalan seorang gadis SMU yang mendambakan cinta yang entah kapan dapat terwujud. Aku memang payah, aku bahkan tak sanggup membuka hatiku pada pria lain. Aku hanya berharap, lewat tulisanku ini, perasaanku yang terpendam selama ini dapat tersampaikan padanya.
            Aku juga tak tahu, bagaimana keadaannya sekarang. Yang kudengar, ia sudah bekerja. Sekali-kali ia datang ke rumahku untuk mengobrol dengan kakakku, dan yang bisa kulakukan hanyalah mencuri-curi pandang padanya. Ia tampak sudah lebih dewasa kini. Tapi, itu justru membuatku makin merasa ‘jauh’ darinya. Mungkin juga, ia kini sudah menemukan tambatan hati.
            Aku sadar, kini aku bukan Amanda yang dulu lagi, Aku harus membuka hatiku pada pria lain. Aku percaya, suatu saat aku akan menemukan kasih yang sejati. Maka biarlah kusimpan rasa cintaku yang murni ini tetap dalam hatiku, dan menjadi kenangan yang indah dalam hidupku. 
*   *   *
           
“Wah… kamu kak Amanda, ya ? Minta tanda tangannya, dong!” seru seorang gadis ABG menghampiriku.
            Aku tersenyum padanya. Memandang gadis itu, bagaikan melihatku di cermin waktu dulu. Waktu aku… merasakan cinta pertamaku.          

*   *   *   *   *

February ’ 3rd, 2004


To my ex ‘rival’ :
I  wrote this story, cause I really understand how you feel…


-------------------------

Story ini dimuat di tabloid 'Teen' pada tahun 2005

Saat itu, tabloid yang semula bernama 'Fantasi' ini berubah nama untuk pertama kalinya & untuk yang pertama kalinya pula mereka memuat cerpen teenlit ini di tabloid mereka sejak berganti nama 

Saya sangat beruntung menjadi orang pertama yang dimuat cerpennya di tabloid tersebut ^_^

Sekarang tabloid tersebut sudah berubah menjadi majalah & bahkan berubah nama lagi menjadi 'Wonder Teen', tapi sampai sekarang saya belum lagi mengirim cerpen pada mereka hehehe