Bab 2
Ingatan Masa Lalu
Vivin memandang keluar jendela. Pemandangan yang dilihatnya tampak dan berlalu seiring gerakan kereta yang dinaikkinya.
Hmm... tersungging senyum di bibirnya. Akhirnya impian gue terwujud juga! gumamnya. Naik kereta setiap hari menuju universitas yang didambakannya selama ini : "Universitas Idaman" (jangan dicari di daftar Universitas di dunia 'real', karena nggak bakalan ada ^_^)
Terbayang olehnya, setahun yang lalu ia sempat jadi pengangguran. Yah... nggak nganggur-nganggur amat sih, soalnya ia sempat ambil kursus bahasa Jepang dan mengajar bahasa Inggris untuk anak SD hingga SMA.
Matanya terus memandang ke luar jendela kereta. Padahal saat itu di sebelahnya ada cowok yang rada mirip sama Hideaki Takizawa, tapi Vivin nggak "ngeh" juga karena tetap asyik dengan lamunannya (kalau beneran mirip Hideaki Takizawa pastinya nggak mungkin banget ^^, Vivin pasti langsung matanya hampir keluar hehehe. Makanya pake kata 'rada' alias agak mirip dikit lah. Kalau miripnya 'banyak', ntar penulisnya ditimpuk sama penggemarnya Hideaki ^_^)
Ingatannya kembali ke masa SMA. Dan kalau ngebayangin soal SMA, pasti yang terlintas dalam benaknya pertama kali adalah wajah Indra.
Yup! Cowok itu telah mengisi relung hatinya selama kurang lebih 3 tahun. Mereka nggak sempat pacaran sih, tapi saling cinta (loh?). Teman sih ngejodohin, tapi... sayang banget waktu dijodohin-Vivin belum membuka hatinya pada Indra-soalnya dia masih suka sama Rommy. Itu tuh... first love-nya Vivin sejak kelas 5 SD (hah?!)
Jadi kesimpulannya seumur-umur Vivin baru cinta sama cowok dua kali. Maklum... Vivin tergolong rada sulit untuk mencintai cowok. Bukannya nggak normal, tapi Vivin orangnya butuh waktu lama untuk mencintai dan melupakan (ciee...). Bahkan saat Vivin udah suka sama Indra, cintanya sama Rommy masih 15 % (eh... emangnya cinta bisa dipersen-persen? ^_^)
Yang nge-BeTe-in, Vivin jadi inget perpisahannya yang menyakitkan sama Indra. Itu juga kerena ulah teman-teman cowoknya di jurusan IPS dulu (hiks,,, ia sedih karena pisah sama Indra yang masuk IPA)
Yup! Cowok itu telah mengisi relung hatinya selama kurang lebih 3 tahun. Mereka nggak sempat pacaran sih, tapi saling cinta (loh?). Teman sih ngejodohin, tapi... sayang banget waktu dijodohin-Vivin belum membuka hatinya pada Indra-soalnya dia masih suka sama Rommy. Itu tuh... first love-nya Vivin sejak kelas 5 SD (hah?!)
Jadi kesimpulannya seumur-umur Vivin baru cinta sama cowok dua kali. Maklum... Vivin tergolong rada sulit untuk mencintai cowok. Bukannya nggak normal, tapi Vivin orangnya butuh waktu lama untuk mencintai dan melupakan (ciee...). Bahkan saat Vivin udah suka sama Indra, cintanya sama Rommy masih 15 % (eh... emangnya cinta bisa dipersen-persen? ^_^)
Yang nge-BeTe-in, Vivin jadi inget perpisahannya yang menyakitkan sama Indra. Itu juga kerena ulah teman-teman cowoknya di jurusan IPS dulu (hiks,,, ia sedih karena pisah sama Indra yang masuk IPA)
Waktu itu
ada Pemilu di sekolahnya. Sehabis UAN, Vivin dan anak-anak SMA “0” (Nol)
diwajibkan ikut nyoblos (dulu belum ada istilah ‘contreng’ ceritanya J ). Dengan syarat sebagai berikut :
1.
Buka
2.
Toblos
3.
Tutup
Hehe…
ada yang ngalamin?!
Terus
ada gosip-gosip yang bilang kalau nggak ngejalanin cara-cara itu, ‘alamat’
nggak lulus. Lagi-lagi Vivin tersenyum membayangkan hal itu. Nyatanya nggak
tuh! Teman-temannya banyak yang milih lain tapi tetap lulus. Bahkan ada di
antara mereka yang “golput” alias nggak milih. Malah ada pula yang nggak
nyoblos, karena nggak tahu caranya. Yang asyik dia toblos malah gabus tempat
nyoblosnya (alamak… parah banget!)
(Oh ya… ngomong-ngomong Vivin baru sampai
stasiun Pasar Malam nih…)
Sejujurnya
Vivin mulanya juga nggak tahu mana gambar yang harus ditoblos. Soalnya terlipat
rapi bagaikan soal ulangan yang masih tersegel. Cuma saat itu, secara nggak
sengaja waktu di dalam bilik suara—angin yang lumayan kencang meniup kertas
tipis itu dan terbukalah kertas tersebut—serta nampaklah tiga gambar yang
sangat ia kenal. Yo’i! Itulah gambar yang
harus Vivin toblos. Ia sempat bingung juga. Milih apa ya?
Kalau
dari segi gambar, tiga-tiganya oke! Dari segi warna, hmm… Vivin berpikir
sejenak. Warnanya kayak lampu lalu lintas. Kalau menurut aturan lalu lintas
sih :
1. Jalan terus
2. Hati-hati
3. Berhenti
Malah waktu dia nganterin mamanya kondangan, lebih parah lagi! Saat itu, ia memakai kemeja lengan pendek dan celana panjang. Ketika ada mobil lewat di dekat ia dan mamanya, tiba-tiba Vivin mendengar teriakan seorang cewek dari mobil itu,“Woi… ada cowok manis!”
Vivin langsung celingak-celinguk (hehe… soalnya dia juga pengin tahu siapa cowok manis yang dimaksud. Siapa tahu dia bisa ikutan “cuci mata” ^_^ ). Ternyata, pas tengok sana-sini… Loh? Kok nggak ada siapa-siapa?! Cuma ada dia dan mamanya.
Barulah setelah cewek di mobil tadi teriak lagi,“Eh… cewek tahu!”
Wuaaa… Vivin hampir jatuh.
Jadi yang dimaksud itu gue! Gue emang manis sih, tapi… huaaa… jangan sama’in gue sama cowok dong!
Yah… begitulah ceritanya… (kasihan ya? ^_^) Makanya, saat perpisahan sekolah itulah Vivin mencoba untuk jadi ‘cewek’. Meski Vivin nggak begitu suka dandan layaknya cewek, tapi setidaknya dia mencoba untuk berpenampilan feminin.
Malam itu ia mengenakan rok warna cream, dengan atasan warna putih plus rompi manis yang berwarna senada dengan roknya. Ia memoles wajahnya dengan bedak baby (like usual! ) dan sedikit lipstik di bibirnya.
Nggak perlu menor-menor lah. ‘Ntar gue dikira ondel-ondel! pikir Vivin sambil membayangkan ondel-ondel yang tiap kali lewat depan rumahnya bikin dia ngibrit ketakutan.
1. Jalan terus
2. Hati-hati
3. Berhenti
Nah lo! Masalahnya nggak satu pun dari
warna itu yang berkenan di hatinya, Habisnya, dia kan suka warna merah jambu
alias pink (hayo… gimana dong?)
Tapi
akhirnya, meski ia sebenarnya nggak suka ‘politik’ (paling ogah digelitikkin
^_^ ) dan juga setelah bingung (sampai sempat pegangan sama tirai yang nutupin
bilik). Sebagai warga negara yang baik, maka Vivin harus turut dalam
“partisipasi politik” (hehe… sekalian praktekin ilmu politik nih ceritanya). Akhirnya, dia nyoblos salah satu di
antara gambar dan warna tersebut.
Yang
mana yang ia toblos? Eit… mana saya tahu… Itu kan rahasia! Inget khan azas
LUBER : Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
Eh, ngomong-ngomong masih berlaku nggak
sih, tuh azas?!?
Oh
ya, ceritanya kereta ini sudah sampai di stasiun LA (LA yang mana dulu).
Perasaan keretanya jalan lama banget yak?! Yah… soalnya tadi sempat berhenti
lamaaa sekaliii di stasiun Pasar Malam (lihat ‘a’ dan ‘i’-nya menunjukkan
betapa lamanya kereta tersebut berhenti). Padahal sesuai lagu kan harusnya “Ayo
kawanku lekas naik, keretaku tak berhenti lama”.
Tapi
herannya, tuh kereta nggak berhenti di LA. Iya… soalnya ini LA yang ‘Los
Angelos’ (maksudnya “los” itu dari bahasa Jerman yang kecampur sedikit keJawen,
yang artinya “lewat aja”, dibiarin aja), makanya keretanya nggak bisa berhenti
dan terus “los” ke stasiun berikutnya ^^
LA
ini juga bukan plesetan dari LA di Amrik sana. Jadi setelah dari stasiun
Tanjung Timur dan melewati satu stasiun—yakni Los Angelos—akhirnya kereta pun
berhenti di LA yang satu lagi (kali ini bener-bener stasiun LA yang harus jadi
tempat perhentian, setelah stasiun Tanjung Timur). Makanya, entah bagaimana bisa ada
stasiun yang tiba-tiba nongol antara LA dan Tanjung Timur di cerita ini ^_^
Ehmm… sampai di mana tadi?
O
iya… tentang anak-anak cowok di kelas Vivin waktu Pemilu. Ketika itu nama Vivin
dipanggil untuk nyoblos, maka berjalanlah Vivin menuju bilik suara dengan
berdebar-debar. Bukannya apa-apa, soalnya ditontonin orang banyak satu sekolah.
Mereka kan ngantri untuk milih alias nyoblos juga. Dan di antara orang-orang
itu ada… Indra! Aduh… malu euy!!
Tak
disangka, saat berjalan itulah teman-teman cowok sekelas Vivin di IPS
menyorakinya, “Dino… ! Dino… ! Dino… ! Dino… !”
Hah?!
Mampus gua! Kenapa di momen-momen seperti ini mereka mesti meneriakkan nama itu
sih! jerit Vivin dalam hati.
Dino
adalah anak paling nakal di kelasnya. Entah kenapa teman-teman cowok di
kelasnya ngejodoh-jodohin Dino sama dia. Ih… kok bisa?! Cuma sepihak gitu…
Kan Vivin merasa jadi pihak yang dirugikan. Yah… sebenarnya nggak apa-apa sih
kalau memang Dino suka sama Vivin (itu hak azasi ne?!)
Tapi
masalahnya, teriaknya jangan di depan beribu-ribu anak satu sekolah dong!
Udah gitu, di situ ada Indra pula. Walah… nanti Indra pikir, Gimana bisa si
Vivin malingin cinta dari gue ke Dino yang nakalnya hampir setara sama Giant.
Itu tuh… temen Nobita yang di cerita “Doraemon”.
Wah…
barabe pisan! Tapi mau
gimana lagi? Vivin nggak mungkin
dong terus teriak balik dan bilang sama semuanya kalau semua itu nggak benar.
Nanti lapangan itu malah jadi arena ‘berbalas pantun’ dan ‘bersilat lidah’ deh,
karena mereka mengira Vivin pasti hanya akan menyangkal.
Akhirnya Vivin cuma bisa tutup mulut dan cuex. Tapi alangkah sedihnya
Vivin setelah balik dari nyoblos dan papasan sama Indra. Dia menatap Vivin
dengan tajam, lalu ‘melengos’ alias ‘buang muka’. Entah kemana dibuangnya,
soalnya Vivin berharap bisa nemu’in bekasnya, tapi nggak berhasil. Hiks…
Dia pergi tanpa mengucap apapun…
Indra berlalu dengan tampangnya yang BeTe
‘abis’.
Sial
tuh cewek! Setelah sekian lama nggak kasih respon ke gue, ternyata dia udah
suka sama cowok lain. Jadi, informasi yang waktu itu gue dapet dari orang—kalo
dia suka juga sama gue—itu bo’ong dong. Padahal gue udah nyiapin jurus jitu
untuk nyata’in rasa cinta gue selama ini sama dia. Ah… semua percuma kalo udah
begini.
Udah
gitu, apa nggak salah tuh… Dino? Dia itu kan bener-bener nggak ada
sekelingking-nya gue, se-kuku gue pun dia kalah telak! (kok ngebandinginnya
kuku sih,’Ndra? Semua kuku kan
sama ^_^ )
Indra
berharap tadi ia salah dengar. Tapi, nggak mungkin ah… Perasaan tadi
pagi ia udah ngebersihin kuping pake cotton bud deh. Dijamin 100 % apa
yang didengarnya pasti akan masuk ke kupingnya tanpa kendala dan dapat
tersimpan di otaknya dengan baik. Karena memang ternyata akhirnya pikiran itu
bergema di otaknya terus-menerus. “Ah… masa’ sih? Ah… masa’ sih?” Ah…
masa… ah… iya… gengsi dong! (eh… salah ya?! Itu kan lagu mainan waktu SD ^_^ )
Dalam
hati, Indra berniat membalas Vivin. Awas tuh cewek! Lihat aja nanti!
*
* *
Lama berselang… sambil menunggu
hasil kelulusan, sekian lamanya Vivin nggak ketemu Indra. Abis gimana… mereka
cuma ketemu di sekolah. Rumah mereka berjauhan sih. Hiks… Makanya Vivin
selalu berpikir, kapan ya… bakal ketemu Indra lagi? Kayaknya cuma dua
kali lagi kesempatan Vivin ketemu sama Indra, yaitu perpisahan sekolah dan
acara kelulusan.
Saat
perpisahan pun tiba. Vivin benar-benar “jadi cewek” saat itu. Yo’i! Karena
biasanya Vivin nggak kelihatan ceweknya. Malah dia lebih suka pakai kaos
longgar plus celana panjang, dan nggak lupa topi. Rambutnya yang panjang sebahu
pun selalu diikat. Dengan penampilan kayak gitu, udah banyak cewek yang
‘kecele’ dan ngira kalau Vivin itu cowok.
Malah waktu dia nganterin mamanya kondangan, lebih parah lagi! Saat itu, ia memakai kemeja lengan pendek dan celana panjang. Ketika ada mobil lewat di dekat ia dan mamanya, tiba-tiba Vivin mendengar teriakan seorang cewek dari mobil itu,“Woi… ada cowok manis!”
“Mana?!
Mana?!” timpal penumpang lain di mobil itu sambil berteriak pula. Mereka
ternyata cewek semua.
Vivin langsung celingak-celinguk (hehe… soalnya dia juga pengin tahu siapa cowok manis yang dimaksud. Siapa tahu dia bisa ikutan “cuci mata” ^_^ ). Ternyata, pas tengok sana-sini… Loh? Kok nggak ada siapa-siapa?! Cuma ada dia dan mamanya.
Barulah setelah cewek di mobil tadi teriak lagi,“Eh… cewek tahu!”
Wuaaa… Vivin hampir jatuh.
Jadi yang dimaksud itu gue! Gue emang manis sih, tapi… huaaa… jangan sama’in gue sama cowok dong!
Yah… begitulah ceritanya… (kasihan ya? ^_^) Makanya, saat perpisahan sekolah itulah Vivin mencoba untuk jadi ‘cewek’. Meski Vivin nggak begitu suka dandan layaknya cewek, tapi setidaknya dia mencoba untuk berpenampilan feminin.
Malam itu ia mengenakan rok warna cream, dengan atasan warna putih plus rompi manis yang berwarna senada dengan roknya. Ia memoles wajahnya dengan bedak baby (like usual! ) dan sedikit lipstik di bibirnya.
Nggak perlu menor-menor lah. ‘Ntar gue dikira ondel-ondel! pikir Vivin sambil membayangkan ondel-ondel yang tiap kali lewat depan rumahnya bikin dia ngibrit ketakutan.
Nah, selesai! Vivin mematut dirinya di depan cermin. Hmm…
lumayan… gue udah nampak seperti ‘cewek’.
Sang
mama dan kakak Vivin pun memujinya. “Kamu cantik deh, Vin.”
Hehehe… Vivin tersapu malu… eh…
tersipu ^_^
“Begitu kan kelihatan ‘cewek’nya,”
ujar mama tersenyum.
Uh…
pujiannya sih boleh, tapi kalimat belakangnya itu loh ^^
Akhirnya Vivin pun siap untuk
berangkat. Lucunya, sebelum pergi Vivin bahkan sempat berfoto dulu bareng kakak
sulungnya yang baru diwisuda. Hehe… mumpung lagi feminin nih.
Jarang-jarang kan dia dandan kayak gini.
Sentuhan
terakhir pada dirinya adalah bagian kaki. Oou… Vivin harus memakai
sepatu tinggi. Gilee… ini sepatu atau enggrang?! Hak-nya tinggi banget!
Vivin
diantar papa sampai tempat perjanjian yang ditentukan dengan teman-temannya.
Soalnya nanti dia mau pergi bareng dua temannya, Ira dan Sekka. Dengan naik
mobil Sekka, mereka pun meluncur menuju gedung tempat perpisahan diselenggarakan.
Sedangkan papa Vivin balik ke rumah untuk istirahat dulu, karena nanti bakal
menjemput Vivin lagi.
Gedung
itu lumayan besar. Padahal kalau dari luar, nggak kelihatan gede-nya tuh. Acara
perpisahan diadakan di ruang atas gedung tersebut.
Ketika
mereka bertiga menaikki tangga, terjadi hal yang lucu. Mereka berjalan pelahan
sambil berpegangan tangan, karena takut jatuh. Ada apa gerangan? Wah… wah… ternyata mereka
sama-sama mengalami kesulitan untuk berjalan dengan high heels.
Huii… ‘sengsara membawa nikmat’.
Mudah-mudahan perpisahan ini akan jadi acara indah yang nggak terlupakan.
Ternyata
ruang yang digunakan untuk perpisahan itu memang luas. Dengan bentuknya yang
memanjang ke belakang, ruangan itu mampu menampung sekitar 300 orang. Fasilitas
gedung ini pun cukup memuaskan, seperti penyediaan panggung berikut sound
system-nya yang oke.
Ruangan
ternyata sudah dipenuhi teman-teman seluruh SMA-nya. Mereka (terutama para
cewek) semuanya tampil lebih dewasa dengan dandanan yang nggak seperti biasa.
Tapi… olala… ini sangat berlawanan dengan para cowok. Cowok-cowok itu justru
sebagian besar mengenakan baju casual
alias kaos plus celana panjang. Kok bisa? Nyata benar bedanya! Yang
cewek bagaikan “putri”, sementara para cowoknya bagaikan… “dayang”? (ehmm…
setidaknya ada kata yang lebih halus untuk mengungkapkannya)
Tapi
buat Vivin, itu lebih menyenangkan (maksudnya dengan pakaian santai seperti
itu). Tampak terlihat sederhana, tapi lebih ‘berarti’. Semua terasa sama.
Kebersamaan juga jadi lebih terasa. “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Hehe…
bener kan peribahasa-nya?
Sedangkan para cewek semakin memperlihatkan
kelebihannya. Yang angkuh, semakin angkuh; yang genit, makin genit; yang
cantik, tambah cantik; yang manis, makin manis; dan sebagainya. Mungkin hanya
Vivin yang perubahannya drastis… menjadi ‘cewek’ yang sesungguhnya. Tentu saja
ini membuat teman-temannya kaget ^_^
Lewat
ekor matanya, Vivin mencari-cari keberadaan Indra di ruangan itu. Aha! Itu
dia! Ia melirik Indra sekilas yang
saat itu sedang berjongkok sambil mengobrol dengan temannya. Dia kelihatan
manis! Sumpeh deh! Meskipun saat itu ia hanya mengenakan kaos putih polos
dengan celana jeans.
Acara
demi acara berlalu dengan cepatnya. Tiba-tiba di tengah acara, para cewek
berkelakuan nggak sesuai dengan pakaian dan penampilan mereka saat itu. Masa’
ketika group penyanyi ternama yang mereka undang lagi manggung,
cewek-cewek itu langsung ribut. Terutama sih buat ngecengin drummer-nya
yang kece-nya selangit!
Apa yang mereka lakukan? Oh my GOD!
Mereka dengan cuex-nya naik ke bangku masing-masing (tentunya setelah melepas
sepatu). Mereka dengan ‘liar’ berteriak-teriak histeris plus bercuit-cuit ria
memanggil sang drummer sambil terus bergoyang mengikuti irama lagu.
Akhirnya
tibalah saat-saat yang Vivin nggak sangka. Oh ya… sebelumnya Vivin juga ikutan error
sejenak dengan naik ke kursinya. ‘Abis gimana… kalau nggak begitu, dia nggak
bisa melihat panggung karena tertutup cewek-cewek itu ^_^
Saat
yang nggak disangka-sangka, di akhir acara Indra maju bersama band kelasnya dan menyanyikan beberapa lagu.
Indra jadi basist-nya. Vivin
terkagum-kagum dan baru tahu kalau Indra ternyata bisa juga main musik. Dengan
terharu, ia menonton “pemandangan indah” itu. Tentunya ini terakhir kalinya dia
bisa melihat wajah Indra.
Sekka dan Ira - sahabat setia Vivin -
bersamaan memegang tangan gadis itu. Bahkan Sekka berbisik,“Ternyata dia bisa
juga yah, Vin… Gue juga baru tahu.” Dan tak disangka… air mata Vivin perlahan
jatuh membasahi pipinya.
Sekka
berbisik lagi,“Ini terakhir kali loe bisa lihat Indra, Vin… Puas-puasin deh.”
Ira
juga nimpalin,“Iya, Vin…”
Vivin
makin terisak sedih.
“Mau
fotonya?” Tiba-tiba terdengar lagi suara Ira menyeruak isakan Vivin. Hah…
Vivin terkejut sesaat.
“Mau
nggak? Loe masih punya sisa film di tustel-loe kan?” tanya Ira lagi.
“Tapi
gue malu…” bisik Vivin masih terisak.
“Gue
yang akan motret dia,” ujar Ira dengan PeDe.
Vivin
menatap Ira dengan pandangan tak percaya. Matanya berkilat penuh harap. “Loe
serius, Ra?” tanyanya ragu.
“He-eh” angguk Ira mantap.
Vivin
segera menyerahkan tustelnya. Tentu saja ia nggak akan melewatkan kesempatan
ini, bahkan untuk tindakan seberani yang Ira lakukan. Karena Ira terkenal
pendiam. Bayangkan! Ia mau
melakukan hal itu demi Vivin! So… what are you waiting for, Vin?! Begitu teriakan yang terdengar dalam hatinya.
Ceklak-ceklik.
Sebentar kemudian terdengar bunyi tustel mulai mengambil gambar diiringi terang
lampu blitz. Dan kayaknya Indra tahu deh, kalau itu kerjaan Vivin dan
temannya. Soalnya di bangku penonton sekarang ini udah sepi.
Selesai Indra manggung, Vivin bersiap untuk
pulang. Tapi alangkah menyedihkannya kejadian yang ia lihat. Indra asyik
berfoto dengan teman-teman cowoknya. Salah satu teman akrabnya—Romero—melirik
ke arah Vivin dengan BeTe, lalu ia kembali memalingkan mukanya pada Indra
sambil berteriak,“Mana ya… adik kelas yang naksir Indra? Suruh foto bareng
Indra nih…”
Vivin
langsung terkesiap. Siapa?! Apa katanya tadi? Ada adik kelas yang naksir
Indra? Apa bener? Kalo iya, siapa orangnya?
Dengan
pura-pura mengalihkan pandangan mencari-cari Sekka dan Ira yang katanya pergi
ke toilet, Vivin mencoba kembali melirik ke tempat Indra dan teman-temannya
berfoto. Tapi, Vivin nggak melihat cewek seorang pun di dekat Indra. Yang ia
lihat, hanya Romero dan Indra saja yang sedang tertawa-tawa sambil melirik ke
arah Vivin.
Oh…
jadi gitu ya… cara dia ngebalas gue!
pikir Vivin kekhi.
Vivin
nggak tahan lagi untuk menceritakan hal itu begitu melihat Ira dan Sekka
datang.
“Nggak…
nggak ada siapa pun kok,” kata Sekka dengan yakin.
Vivin
kesal sekali. “Ayo pulang,” gerutunya sambil cemberut.
“Nggak
nyesel nih pulang duluan?” ujar Ira iseng.
Vivin menggelengkan kepalanya dengan tegas. Ia kesal dengan permainan Indra dan Romero tadi. Sama sekali nggak lucu! Siapa pun orang-orang di sekitar Indra tahu, bahwa secara nggak langsung perilaku Vivin bagaikan menolak Indra. Tapi, nggak gitu caranya dong! Dia kan nggak tahu isi hati Vivin yang sekarang. Apalagi sejak kejadian 'sial' di lapangan waktu Pemilu itu. Vivin benar-benar kecewa!
Aku harus meninggalkan gedung ini! pikir Vivin cepat. Ia pun ber-say goodbye dengan sisa-sisa anak yang masih ada di sana. Vivin menyembunyikan air matanya sambil menunggu mobil papa yang akan menjemputnya. Ketika papa datang, ia cepat-cepat menghapus air matanya.
"Gimana acaranya?" tanya papa begitu Vivin menutup pintu mobil.
"Eung... baik..." jawab Vivin sambil tersenyum.
Sebentar kemudian, Vivin sudah mengobrol dengan papanya sambil sesekali tertawa-tawa. Tetapi sesungguhnya hatinya begitu hancur saat ini. Sama sekali bukan perpisahan seperti ini yang ia harapkan.
Vivin menggelengkan kepalanya dengan tegas. Ia kesal dengan permainan Indra dan Romero tadi. Sama sekali nggak lucu! Siapa pun orang-orang di sekitar Indra tahu, bahwa secara nggak langsung perilaku Vivin bagaikan menolak Indra. Tapi, nggak gitu caranya dong! Dia kan nggak tahu isi hati Vivin yang sekarang. Apalagi sejak kejadian 'sial' di lapangan waktu Pemilu itu. Vivin benar-benar kecewa!
Aku harus meninggalkan gedung ini! pikir Vivin cepat. Ia pun ber-say goodbye dengan sisa-sisa anak yang masih ada di sana. Vivin menyembunyikan air matanya sambil menunggu mobil papa yang akan menjemputnya. Ketika papa datang, ia cepat-cepat menghapus air matanya.
"Gimana acaranya?" tanya papa begitu Vivin menutup pintu mobil.
"Eung... baik..." jawab Vivin sambil tersenyum.
Sebentar kemudian, Vivin sudah mengobrol dengan papanya sambil sesekali tertawa-tawa. Tetapi sesungguhnya hatinya begitu hancur saat ini. Sama sekali bukan perpisahan seperti ini yang ia harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar