Bab 3
Awal Pertemuan
Lamunannya terhenti begitu mendengar teriakan seorang penjual minuman di kereta yang memecah kesunyian. "Universitas Idaman! Udah sampai! Ayo... ayo... yang mau turun... yang mau kuliah..."
Vivin berdesakkan dengan beberapa orang yang juga turun di stasiun itu. Ternyata begitu banyaknya mahasiswa Universitas Idaman yang pergi kuliah dengan naik kereta.
Sampai di pintu kereta, penumpang yang turun makin berjubel dan Vivin terdorong oleh orang yang berdiri tepat di belakangnya. Vivin pun nggak sengaja mendorong orang yang berada di depannya. Ups... mereka berdua keluar dari kereta dengan susah payah dan hampir jatuh.
"Maaf ya..." ujar Vivin sambil menunduk karena takut orang itu akan marah.
"Aduh... nggak apa-apa..." sahut orang itu yang ternyata seorang cowok.
Cowok itu menepuk-nepuk celananya yang sempat mendarat di trotoar stasiun. Nampak beberapa debu menempel di celananya. "Menyebalkan!" ujarnya kesal.
Vivin merasa nggak enak. Ia terus berdiri di tempatnya sambil memperhatikan cowok itu. "Maaf..." katanya sekali lagi.
"Gue udah bilang, nggak apa-apa," ujarnya lagi sambil mendongakkan kepalanya ke arah Vivin. Mungkin ia berpikir, Ini cewek khawatiran banget sih!
Vivin merasa canggung, lalu berpamitan pada cowok itu untuk duluan pergi menuju kampus. Tapi setelah ia meninggalkan cowok itu, Vivin merasa ada yang aneh dengan cowok itu. Mukanya mirip seseorang. Siapa ya?
Vivin mempercepat langkahnya sambil terus berpikir mirip siapa gerangan cowok tadi. Tapi semakin keras ia berpikir, semakin gagal usahanya untuk mengingat.
Akhirnya sampailah Vivin di kampus idamannya. Karena mahasiswa baru, ia dan teman-teman senasibnya harus memulai segalanya dengan hati-hati. Katanya sih akan ada semacam penyambutan terhadap mahasiswa baru. Tapi kayaknya istilah penyambutan itu berarti perploncoan deh, karena itulah gosip yang dia dengar dari seniornya.
Hui... mampus deh gue! Mesti ngalamin kayak ginian lagi tiap jadi murid baru, keluh Vivin dalam hati.
Hari ini, mahasiswa baru masih diberi kesempatan untuk santai (sebelum 'dibantai' esok hari tentunya ^_^). Mereka hanya melihat-lihat keadaan kampus selama satu hari itu.
Vivin berkenalan dengan dua orang teman seperjuangan. Mereka adalah Indri dan Thessa. Meski sudah berkenalan dengan yang lain, tapi Vivin merasa lebih 'sreg' bersama dua cewek ini. Mereka selalu bersama. Ke kantin, ke ruang kuliah, belajar bareng, main bareng, nyanyi-nyanyi bareng, bahkan ups... pipis pun bareng (hehehe... cuma tentunya di bilik yang berbeda).
Seperti yang saat ini mereka lakukan (lagi-lagi bertiga). Mereka sedang mencari "mangsa" untuk di-CCP-in. Tahu CCP? Itu tuh, "Curi-Curi Pandang". Mereka melongok ke bawah dari sebuah jendela besar yang terletak di lantai dua. Siapa saja yang akan masuk gedung yang mereka tempati sekarang, pasti akan terlihat dari jendela itu.
“Gimana?
Kak Adi lucu kan?” tanya Thessa bersemangat.
“He-eh… ” Indri mengangguk sambil tersenyum.
“Gue
denger, dia itu idola,” kata Thessa.
“Eit…
gue nggak suka loh,” kelit Indri sambil manyun. “Lagipula, gue kan udah ada Yan,”
ujarnya sambi tersenyum malu menyebutkan nama pacarnya itu.
“Bagus! Kalian bisa-bisanya terlambat. Udah dibilang, datang sebelum jam 6 pagi. Apa kalian semua nggak denger? Kupingnya ditaro di mana!” teriak seorang cewek yang nampaknya bertugas menghukum dan membentak para pelanggar peraturan ‘penyambutan’.
Vivin gemetar. Ia menundukkan kepalanya. Begitu juga mahasiswa baru lainnya yang terlambat.
“Kalian masing-masing akan diberi cap pada name tag kalian! Tanda bahwa kalian telah berbuat kesalahan!” teriak senior galak itu lagi.
Gile… kayaknya lebih galak dia daripada papa gue! keluh Vivin yang punya papa galak, meski memang tetap sayang padanya ^_^
Name tag adalah semacam papan nama dari potongan kardus/gabus yang ditulisi nama dan jurusan masing-masing, kemudian diberi tali. Lalu potongan yang sudah ditulisi dan diberi tali tadi digantungkan di leher, sehingga name tag tersebut tepat berada di depan dada.
Vivin merasa nggak enak. Ia terus berdiri di tempatnya sambil memperhatikan cowok itu. "Maaf..." katanya sekali lagi.
"Gue udah bilang, nggak apa-apa," ujarnya lagi sambil mendongakkan kepalanya ke arah Vivin. Mungkin ia berpikir, Ini cewek khawatiran banget sih!
Vivin merasa canggung, lalu berpamitan pada cowok itu untuk duluan pergi menuju kampus. Tapi setelah ia meninggalkan cowok itu, Vivin merasa ada yang aneh dengan cowok itu. Mukanya mirip seseorang. Siapa ya?
Vivin mempercepat langkahnya sambil terus berpikir mirip siapa gerangan cowok tadi. Tapi semakin keras ia berpikir, semakin gagal usahanya untuk mengingat.
Akhirnya sampailah Vivin di kampus idamannya. Karena mahasiswa baru, ia dan teman-teman senasibnya harus memulai segalanya dengan hati-hati. Katanya sih akan ada semacam penyambutan terhadap mahasiswa baru. Tapi kayaknya istilah penyambutan itu berarti perploncoan deh, karena itulah gosip yang dia dengar dari seniornya.
Hui... mampus deh gue! Mesti ngalamin kayak ginian lagi tiap jadi murid baru, keluh Vivin dalam hati.
Hari ini, mahasiswa baru masih diberi kesempatan untuk santai (sebelum 'dibantai' esok hari tentunya ^_^). Mereka hanya melihat-lihat keadaan kampus selama satu hari itu.
Vivin berkenalan dengan dua orang teman seperjuangan. Mereka adalah Indri dan Thessa. Meski sudah berkenalan dengan yang lain, tapi Vivin merasa lebih 'sreg' bersama dua cewek ini. Mereka selalu bersama. Ke kantin, ke ruang kuliah, belajar bareng, main bareng, nyanyi-nyanyi bareng, bahkan ups... pipis pun bareng (hehehe... cuma tentunya di bilik yang berbeda).
Seperti yang saat ini mereka lakukan (lagi-lagi bertiga). Mereka sedang mencari "mangsa" untuk di-CCP-in. Tahu CCP? Itu tuh, "Curi-Curi Pandang". Mereka melongok ke bawah dari sebuah jendela besar yang terletak di lantai dua. Siapa saja yang akan masuk gedung yang mereka tempati sekarang, pasti akan terlihat dari jendela itu.
“Eh, lihat… itu tetangga gue, kak
Adi!” pekik Thessa sambil menunjuk satu di antara dua cowok yang berjalan
bersama menuju gedung tersebut, diiringi seorang cewek cantik.
Ketiga
orang itu berhenti tepat saat pandangan Vivin tertuju pada mereka. Sepertinya
mereka sibuk dengan tumpukan kertas di tangan masing-masing.
“Kak
Adi…!” panggil Thessa setengah berteriak.
Yang
dipanggil langsung menoleh ke arah jendela, dimana Vivin dan teman-temannya
‘bertengger’ di jendela (bertengger? Burung kalee… ^_^ )
“Hai!”
sapa kak Adi ramah. Kontan dua orang yang bersamanya ikut menoleh dan
mendongakkan kepalanya ke atas.
Oou…
ternyata cowok yang satu lagi adalah cowok yang tadi terdorong oleh Vivin di
kereta. Vivin kaget setengah mati! Ia tak sempat menyembunyikan wajahnya. Yang
terjadi justru sebaliknya, ia bertemu mata dengan orang itu. Atau lebih
tepatnya, “berpandangan”. Atau bahkan lebih ‘parah’(?) “bertatapan”! Dan
kejadian itu cukup lama (selama Thessa mengajak ngobrol kak Adi) --> kejadian ini bagai adegan percakapan di balkon
antara Romeo dan Juliet ^_^
Sampai
akhirnya… “Daaaaah!!” seru Thessa riang sambil melambaikan tangannya pada kak
Adi setelah selesai bercakap ala Romeo – Juliet tadi.
Kak
Adi balas melambai dan kemudian berlalu bersama cowok tadi. Sedangkan cewek
cantik yang bersama mereka, sudah lebih dulu masuk ke gedung (mungkin dia BeTe
nungguin Adi ngobrol ^_^ )
“He-eh… ” Indri mengangguk sambil tersenyum.
“Vin,
kok diem aja?” Thessa menyenggol Vivin.
“Ooh…
loe pasti merhati’in yang satunya ya?” goda Indri. Terbersit kilatan nakal di
matanya.
“Nggak… ”
sangkal Vivin. Tapi kayaknya wajahnya yang merah nunjukkin kalau dia nggak bisa
bohong.
“Iya…
Selain cakep, dia juga pinter dan aktif dalam berbagai kegiatan,” timpal Indri
yang ternyata punya banyak informasi.
Mendengar
itu, Thessa dan Vivin saling melirik nakal padanya.
Setibanya
di rumah, saat di kamarnya… Vivin masih berpikir keras. Dia mirip… mirip…
zzzzz… Karena ngantuk berat, Vivin pun tertidur.
* * *
Paginya,
Vivin bangun kesiangan.
“Wah…
gawat!” pekiknya. “Gara-gara gue mikirin dia semalam. Kenapa gue begitu bodoh?!
Dia itu kan mirip banget sama Indra!”
Sebel
juga! Ia berusaha melupakan Indra (ini terbukti dengan sulitnya ia
mengingat mirip siapa cowok itu). Tapi eh… ia malah ketemu dengan orang yang
sama dan sebangun (kongruen gitu…) à baru deh
istilah ‘matematika’nya keluar, padahal dia paling nggak bisa pelajaran yang
satu ini. Lagipula, kenapa juga dia harus nyama’in wajah orang sama sifat
bidang/bangun datar di matematika ^_^
Kok
bisa mirip sih? Vivin nggak habis
pikir, Bagaimana bisa ada dua orang yang begitu mirip? Tapi setelah
dipikir-pikir, mungkin ada benarnya juga. Ia pernah dengar, kalau tiap orang
masing-masing punya “kembaran” di dunia sebanyak 7 orang.
Berarti
Vivin juga punya kembaran dong (?). Cuma kayaknya dia nggak pernah ketemu
dengan kembarannya deh. Well… mungkin pernah, tapi Vivin nggak
menyadarinya, karena mesti bercermin dulu untuk melihat dirinya sendiri dan
membandingkan dengan “kembaran” yang misalnya saja ditemuinya di jalan. Tapi,
mana kepikiran sih dia sampai segitunya?
^_^
Karena
kesiangan, Vivin jadi terlambat sampai kampus. Hihihi… sebenernya ini
‘penyakit’nya dari dulu : tukang telat. Sampai-sampai Vita (teman SMA-nya)
ngasih julukan “Miss Late” buat
Vivin alias gadis yang suka terlambat.
Alhasil,
saat ini Vivin ditahan oleh seniornya dan tentunya ia harus siap dikerja’in.
Vivin dan beberapa anak yang terlambat lainnya dikumpulkan menjadi satu
barisan.
“Bagus! Kalian bisa-bisanya terlambat. Udah dibilang, datang sebelum jam 6 pagi. Apa kalian semua nggak denger? Kupingnya ditaro di mana!” teriak seorang cewek yang nampaknya bertugas menghukum dan membentak para pelanggar peraturan ‘penyambutan’.
Vivin gemetar. Ia menundukkan kepalanya. Begitu juga mahasiswa baru lainnya yang terlambat.
“Kalian masing-masing akan diberi cap pada name tag kalian! Tanda bahwa kalian telah berbuat kesalahan!” teriak senior galak itu lagi.
Gile… kayaknya lebih galak dia daripada papa gue! keluh Vivin yang punya papa galak, meski memang tetap sayang padanya ^_^
Name tag adalah semacam papan nama dari potongan kardus/gabus yang ditulisi nama dan jurusan masing-masing, kemudian diberi tali. Lalu potongan yang sudah ditulisi dan diberi tali tadi digantungkan di leher, sehingga name tag tersebut tepat berada di depan dada.
Vivin masih menunduk, ketika
seorang senior cowok memberi cap ‘kesalahan’ pada name tag-nya.
“Nggak
usah menunduk! Itu nggak akan meringankan hukuman,” ujar cowok itu sinis. Ia
malah menambah satu cap kesalahan lagi, hingga membuat Vivin terkejut.
Gue
kan baru salah satu kali! pekik
Vivin dalam hati. Karena menurut peraturan, jika makin banyak cap kesalahan,
maka hukuman akan makin bertambah.
Vivin
mengangkat kepalanya hendak memprotes. Tapi saat melihat siapa yang ada di
hadapannya, mendadak lidahnya langsung kelu. Cowok itu! Vivin langsung lemas.
“Ada
apa? Mau protes?” tanya cowok itu santai.
“Ayo,
semua lari keliling kampus!” Tiba-tiba teriakan senior cewek yang bertampang
judes tadi mengejutkan Vivin, hingga kembali berdiri tegap tanpa sempat
menanggapi cowok tadi.
Dengan
bergumam sebal, Vivin dan seluruh mahasiswa baru yang telat itu, lari
mengelilingi kampus yang lumayan ‘guede’ (saking gede-nya) tersebut.
Sampai
menjelang pulang pun, Vivin dan teman-teman masih dikerja’in juga. Bahkan Vivin
yang dapat 2 cap, nggak boleh pulang dulu.
“Gue
pinjem dia,” tukas cowok itu tegas pada teman-temannya sambil menarik Vivin.
“Ciee…
mau diberi hukuman “khusus” ya?” goda teman-temannya sambil bersuit-suit ribut.
“Cerewet
kalian!” serunya garang seraya mengacungkan tinjunya.
Vivin
bener-bener bingung. Mau apa gerangan cowok menyebalkan ini? pikirnya kesal.
“Masuk!”
suruh cowok itu pada Vivin yang masih berdiri di luar kelas.
Cowok itu membawa Vivin ke sebuah
ruang kuliah. Ruangan itu adalah ruang yang sering Vivin gunakan bersama Indri
dan Thessa untuk melihat-lihat CCP-an kalau sedang tidak dipakai untuk kuliah.
Ruangan itu lengang, karena hanya
mereka berdua yang ada di situ. Semua ruang kuliah pun sudah kosong, sebab
semua mahasiswa sudah pulang.
Vivin
enggan. Ia malah ketakutan dan diam seperti patung.
“Kenapa?
Takut sama gue?” tanyanya ketus. “Jangan mikir yang nggak-nggak deh,” ujarnya
BeTe.
“Siapa
yang mikir begitu?” tukas Vivin nggak kalah BeTe. Tapi wajah dan gelagatnya
emang nggak bisa nipu, karena sumpah ‘abis’ Vivin takut banget!
Namun,
perlahan Vivin melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu.
“Duduk!”
perintah cowok itu lagi.
Vivin
duduk. Ia diam saja, tapi mulutnya manyun seperti ikan mas koki.
“Eh,
cemberut lagi! Loe harus nurut sama senior, tahu!” bentak cowok itu.
Vivin
hanya bisa mengunci mulutnya erat-erat. Padahal ia ingin berteriak, Betapa
menyebalkannya cowok ini! Tapi, pada
kenyataannya ia hanya bisa duduk diam sambil terus menunduk.
Cowok
itu menarik kursi di depan Vivin dan membaliknya, sehingga sekarang posisi
duduknya berhadapan dengan Vivin. Dia duduk sambil membuka-buka buku yang
dibawa Vivin sejak tadi. Buku itu adalah buku ‘khusus’ yang dipegang mahasiswa
baru untuk mengumpulkan tanda tangan senior.
Vivin
masih saja menunduk.
“Heh,
ngapain nunduk? Cari uang di bawah?!” tanyanya dengan nada suara yang amat
menyebalkan, hingga Vivin ingin sekali menimpuknya.
Dengan
tampang masih cemberut, Vivin mengangkat kepalanya. Tapi ia tetap nggak berani
memandang cowok itu.
“Hmm…”
Cowok itu bergumam sambil terus membuka-buka buku Vivin. Terlihat oleh Vivin,
ia sedang mengamati data-data Vivin yang ada di lembar pertama buku itu.
“20
Oktober?” Ia mengernyit. “Zodiak-loe Libra ya?” tanyanya acuh tak acuh.
“Eh…
i… iya…” jawab Vivin gugup.
“Tahu,
nggak… Orang yang ber-zodiak Libra itu payah,” ujarnya lagi. “Mereka selalu
bimbang dalam segala hal,” katanya sambil tersenyum kecut.
Ih!
Sok tahu banget sih nih orang! gerutu Vivin dalam hati. Tapi Vivin diam aja,
nggak berani ngomong apapun. Dibiarkannya tuh cowok masih mengamati
data-datanya.
“Cita-cita?”
Ia nampak terkejut. “Kenapa kosong?” Ia menunjuk garis strip yang dibuat Vivin
pada tempat kosong di sebelah tanda ‘titik dua’ di barisan kolom Cita-cita. “Loe
nggak punya cita-cita?” tanyanya heran.
“Saya
bingung,” jawab Vivin singkat.
“Bingung?
Kalo bingung, ‘pegangan’ Non,” ujarnya setengah tertawa. “Coba jelasin, kenapa
udah sebesar ini… loe masih nggak punya cita-cita?” selidiknya.
“Soalnya,
tiap kali saya punya cita-cita selalu nggak kesampaian,” tutur Vivin datar.
“Emang
apa aja cita-cita loe?” tanya cowok itu ingin tahu.
“Eng…
waktu kecil, saya pengin jadi Hakim. Tiba-tiba kelas 1 SD, saya ngerubah
cita-cita pengin jadi Dokter.”
“Terus?”
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Ketika
SMA, pas penjurusan saya gagal masuk IPA. Lalu saya merubah cita-cita jadi
Diplomat. Saya juga sempat ingin jadi ahli bahasa, desainer, psikiater ataupun
psikolog, bahkan pilot. Tapi pilot sebaiknya tidak berkacamata, sedangkan saya
kan minus satu.”
Vivin
terus berceloteh dan cowok itu mengangguk-angguk mendengarkan.
“Diplomat
pun nggak kesampaian, karena gagal masuk jurusan Hubungan Internasional (HI)”,
lanjut Vivin.
“That’s
it?” Cowok itu mengernyitkan
dahinya.
“Yah…
saya pikir selama ini saya terlalu muluk dalam bercita-cita, sehingga kalau
nggak kecapai, suka kecewa berat.”
“Tapi
jadi Diplomat kan nggak mesti dari jurusan HI aja,” ujar cowok itu lagi.
“Iya…
Tapi kan emang lebih enak dan cepat lewat situ. Kapasitasnya lebih banyak yang
dibutuhkan dari jurusan HI,” bela Vivin.
“Ooh…
jadi begitu alasan-loe. Iya juga sih, tapi… ” Ia berhenti sejenak. “So,
loe menyerah?”
Vivin
mengangguk.
“Payah…”
ujar cowok itu dengan nada mencemooh. “Orang hidup itu harus punya cita-cita.
Yah… kisah-loe itu memang menyedihkan. Tapi gue rasa, loe belum gagal. Apalagi
loe masih muda. Jalan-loe masih panjang. Masih banyak kesempatan,” ujarnya lagi
dengan lagak seperti orang yang lagi pidato.
Ia
mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan mata Vivin yang masih termangu. “Hello…
Are you listening?”
“Yah…
saya sih sekarang ngikutin jalan yang saya pilih aja,” kata Vivin setelah
sejurus lamanya terdiam.
“Pasrah?”
tanya cowok itu lagi.
“Bukan
begitu… saya rasa, apa yang saya hadapi dan jalani sekarang adalah yang
terbaik. Saya yakin, saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan jika saya
berusaha untuk meraihnya, meski mungkin nggak harus jadi Diplomat,” jawab Vivin
mantap.
Cowok
itu menyembunyikan senyumnya, lalu berjalan ke arah jendela. Ia menarik nafas
dalam-dalam dan mengucapkan beberapa patah kata, tapi Vivin udah nggak
konsentrasi karena perutnya yang sangat lapar. Ia juga amat lelah karena
hukuman lari tadi.
Si cowok
langsung menoleh ke arah Vivin karena curiga cewek itu nggak mendengar
ucapannya. Dilihatnya Vivin tampak mengerut di kursinya bagai orang sakit
perut.
“Loe
kenapa?” tanyanya cemas sambil menghampiri Vivin.
“Saya…
saya… lapaaar!” teriak Vivin karena udah nggak tahan lagi.
* * *
Vivin
menyantap mie ‘yamin’-nya sambil menggerutu. Sampai abang baksonya… eh… mie-nya
ngeliatin Vivin dengan pandangan “syereeem”. Mie yang harusnya begitu enak
terasa membosankan, karena tiap kali menyuap Vivin ingat cowok menyebalkan itu.
Bahkan
sampai di kamarnya pun, Vivin masih nggak bisa tidur. Ih… bagaimana bisa?
Wajah mirip, tapi kelakuan berbeda! Cowok itu begitu cerewet dan sok tahu,
sedangkan Indra begitu kalem dan pemalu. Bener-bener beda 180 derajat!