Bab 1
Cowok Cute
“Dududududu…”
Vivin bernyanyi riang saat melenggang menuju rumahnya. Ia baru saja mendapat
informasi, bahwa SMA tempat ia akan melanjutkan studinya ternyata bagus dan
merupakan sekolah favorit. Meski tidak menjadi nomor satu seperti pilihan
pertamanya, namun berarti masih ada kesempatan baginya untuk sekolah di tempat
yang juga bagus.
Padahal awalnya
Vivin sempat kecewa berat saat mengetahui ia gagal diterima di sekolah pilihan
pertamanya. Ya itu tuh… sekolah “nomor satu” itu. Untung saja ada dua pilihan
sekolah lain yang bisa dipilih. Jadi kalau gagal pada pilihan pertama alias
nilainya tidak mencukupi untuk masuk sekolah pilihan pertama, maka para siswa
akan ‘dilempar’ ke pilihan lainnya (wuih ‘dilempar’? sadis amat istilahnya ^_^
) Demikian pula Vivin yang terlempar dari pilihan satu ke pilihan dua.
Sementara bagi yang gagal di pilihan pertama dan kedua, mereka akan dilempar ke
pilihan ketiga, begitu seterusnya. Kalau gagal sampai pada pilihan terakhir yah…
terpaksa ke sekolah lain yang sama sekali nggak sesuai pilihan.
Akhirnya tibalah
saat yang dinantikan, Vivin memasuki ‘dunia’ barunya. Ia mulai pakai rok
abu-abu. Rambutnya yang waktu SMP kadang suka dikuncir dua (aduh… please deh!), sekarang sudah dikuncir ke
belakang. Sepatunya yang dulu harus mengikuti aturan sekolah, sekarang agak
bebas. Walaupun tiap upacara hari Senin, semua murid tetap wajib memakai sepatu
hitam. Di SMP-nya dulu juga sangat disiplin. Ada guru galak yang menakutkan dan
siap memukul dengan penggaris kayu besar di tangannya, kalau ada murid yang
terlambat ataupun nggak berbaris rapi waktu upacara. Bahkan pernah ada murid
cowok yang ditampar gara-gara berisik waktu upacara.
Hmm… kalau di
SMA sekarang, gurunya tetap disiplin. Hanya saja mereka tidak pernah memarahi
atau menghukum murid dengan memukul. Cukup dengan ‘kata-kata’ saja, mereka
berhasil menyadarkan murid untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Atau
dihukum lari keliling lapangan, atau scot
jump, atau bahkan push up.
Lumayan menguras tenaga juga ya?
Mungkin cara ini
masih terlalu baik? Soalnya ada saja murid yang masih melanggarnya…hehehe…
Meski begitu, siapa sih yang mau dihukum dan diceramahi panjang-lebar? Jadi, so
pasti mereka sebisa mungkin tidak melakukan pelanggaran.
Di kelas
barunya, Vivin satu bangku dengan Jeany. Anaknya pintar, terutama dalam urusan
pelajaran yang ‘berbau’ hitungan. Di bangku depannya duduk Oshi si jenius
berkacamata yang mirip Conan Edogawa
di serial komik “Detective Conan”, dan Rizal yang keren dan supel. Di samping
kirinya, duduk gadis hitam manis bernama Yenny yang suka nonton “Ksatria Baja
Hitam” ^_^ dan Juli yang hobby banget ketawa. Sementara di samping kanan
bangkunya, ada Tirta si cewek tomboy yang suka pecicilan alias nggak bisa diam ^^ dan Riama yang
rada pendiam dan suka duduk menyandar pada tembok sambil membaca.
Vivin duduk
sambil mengarahkan pandangannya ke sekeliling kelas (mumpung nggak ada guru).
Satu-persatu murid diperhatikannya, baik cewek maupun cowok. Tiba-tiba ia
merasa sedih… hiks… kok di antara mereka nggak ada yang mirip Rommy ya?
Siapa itu Rommy? Ehmm… untuk
mengetahuinya, kalian harus baca terus donk
^_^
Mata Vivin
kembali berkeliling. Tiba-tiba… matanya menangkap pandangan seorang cowok yang
mengarah padanya. Cowok itu duduk di bangku belakang dan dia terlihat duduk dengan malas di kursinya. Vivin yang sudah
hafal dengan nama seluruh teman sekelasnya, langsung BeTe dengan tatapan cowok
bernama Nando itu. Dia itu kok senyum-senyum nggak jelas gitu sih? PeDe
bener? Cara ngeliatinnya itu juga… duh… nggak banget deh!
Vivin langsung mengalihkan pandangannya kembali ke buku catatan di
depannya. Saat itu memang nggak ada guru, tapi mereka diharuskan mencatat
pelajaran yang ditulis oleh Gisca, sang sekretaris.
* * *
Begitu seterusnya, Vivin sering memergoki tuh cowok yang terus
memandanginya tiap saat. BeTe banget! Bukannya ke-GeeR-an, tapi Vivin
bener-bener terganggu dengan tatapan cowok itu. Yah… itu hak dia sih, kan mata
juga mata-nya dia. Mau ngeliatin sampai juling juga terserah. Tapi, kenapa
harus Vivin gitu loh? Males banget nggak, sih?!
“Dia kan
anak orang kaya,” kata salah seorang teman sekelas Vivin saat jam istirahat.
“Siapa?” tanya yang lainnya.
“Si Nando. Waktu pesta ultahnya Pinkan, dia diantar mobil mewah loh.
Pake sopir pula.”
Hebat? Keren? Vivin yang duduk di sebelah dua cewek yang sedang
ngobrol itu jadi rada-rada ‘stress’ mendengarnya. Memangnya kalau kaya baru
bisa dibilang hebat dan keren ya? Terus kalau orang yang dari kalangan
biasa-biasa aja tapi pinter, disebut apa? Dan kalau miskin tapi cakep, gimana?
Sebenarnya Vivin malas mengarahkan pandangannya ke bangku belakang,
tapi… dilihatnya cowok itu tetap saja memandanginya. Eng…ing…eng… cowok di
sebelah Nando kok dilihat-lihat ternyata “cute” yah? Hehehe… Dia nampaknya
pendiam dan agak-agak pemalu gitu (pemalu ada yang ‘agak-agak’ ya? ^_^).
Kalau ketawa juga behave bener… nggak pernah ‘ngakak’ kayak Vivin dan
teman-teman lainnya.
“Eh, Jean… cowok yang duduk di pojok kanan belakang itu namanya siapa
sih?” tanya Vivin sambil berbisik pada Jeany yang asyik menyelesaikan hitungan
matematika-nya. Lagi-lagi saat ini kelas kosong, karena guru yang seharusnya
mengajar sedang sakit.
Jeany melihat sekilas ke belakang. “Nando,” jawabnya sambil tersenyum.
“Bukan, kalau itu sih gue tahu. Maksud gue, temen sebangkunya itu loh.”
“Ooh…” Mulut Jeany langsung membulat. “Dia Indra.”
“Lho? Bukannya namanya Zeva?” tanya Vivin.
“Iya, namanya Zeva Narindra. Panggilnya Indra,” jelas Jeany yang sudah
menyelesaikan hitungannya dan menutup bukunya. Ia langsung merapatkan dirinya
pada Vivin. “Kenapa? Loe naksir ya?” bisiknya iseng.
“Nggak… Yee…” Vivin langsung mencibir. “Cuma nanya doang kok.”
“Yang suka ngeliatin loe kan yang duduk di sebelahnya,” goda Jeany.
Vivin memandang Jeany dengan BeTe. “Biarpun dia kaya, kayaknya gue nggak
bakal suka deh sama dia.”
“Dia kaya?” Jeany terperanjat. “Tahu darimana loe?”
“Yah… pokoknya gue tahu aja,” sahut Vivin malas untuk menjelaskannya.
“Dia juga manis kok, Vin,” tawar Jeany.
“Iya… iya… tapi kalau gue nggak suka, so what?”
Jeany hanya diam dan tersenyum penuh pengertian. “Iya sih… tatapannya
sepertinya ‘sangat mengganggu’ ya? Kesian deh loe…” canda Jeany sambil mengusap
kepala Vivin yang langsung manyun.
* * *
Suatu hari, tersiar kabar kalau Nando
pindah sekolah. Katanya sih, orang tuanya tugas di luar kota. Tapi ada juga
yang bilang, kalau dia dikeluarkan dari sekolah karena nilai-nilainya hancur.
“Keseringan ngeliatin loe sih, jadi nggak konsentrasi ke pelajaran,”
bisik Jeany pada Vivin sambil tertawa.
Lagi-lagi Vivin cuma bisa manyun mendengar godaan Jeany. Sebenarnya
Vivin sangat kasihan pada Nando, kalau ternyata memang alasannya dikeluarkan
adalah karena nilai-nilainya yang jelek. Cuma, mau bagaimana lagi? Itu sudah ketentuan
di sekolahnya, kalau nilai seperti itu dianggap bahwa si anak tidak bisa
bertahan di sekolah tersebut.
Jadilah hari-hari Vivin tanpa pandangan Nando. Jujur, Vivin sedikit
lebih tenang. Tapi, entah kenapa… hari-hari tenang itu kini menjadi sebuah ‘mimpi
buruk’. Ada cowok di bangku belakang yang hobby banget melempar kertas yang
sudah dibentuk bola-bola kecil, lalu dilemparkan ke arahnya. Sebalnya, kertas
itu berkali-kali mendarat di rambutnya dengan sukses. STRESS banget khan?!
“Ih… siapa sih?!?” jerit Vivin suatu hari sambil mengarahkan
pandangannya ke belakang dengan kesal. Namun, tak satu pun dari cowok itu yang
mengaku. Mereka malah saling melempar kesalahan sesama cowok. Vivin bener-bener
BeTe.
Lama-lama karena
tidak tahan lagi, tibalah hari itu. Saat kertas itu mendarat lagi di rambutnya…
dengan gemas plus kesal, Vivin pun berteriak tanpa mengalihkan pandangannya ke belakang. “Mending ngaku aja
deh siapa yang ngelempar! Kalau suka, bilang terus terang!”
“Ayo ngaku aja. Ngaku…” Terdengar suara para cowok riuh rendah di bangku
belakang. Tapi Vivin sama sekali nggak mau ngeliat siapa gerangan cowok itu. Ia
benar-benar kesal! Dasar “chicken”, beraninya main belakang!
* * *
Vivin sedang mengobrol dengan Stella, saat seorang cowok berulang kali
mondar-mandir di depan bangku tempat ia dan Stella duduk. Cowok itu tak lain
adalah Indra. Ternyata setelah diperhatikan lebih lanjut, Indra yang pendiam
bisa juga bercanda-canda sambil lari-larian sama temannya. Kadang-kadang
rada pecicilan juga nih cowok, pikir Vivin heran. Tapi, kenapa dia
bolak-balik di depan bangku ini terus?
Vivin berpikir lagi tanpa bermaksud GeeR.
Hari itu, Vivin memang sedang antusias membicarakan model rambut tokoh
favoritnya di sebuah film. “Duh… rambutnya si Archie tuh keren banget ya. Agak
dipanjangin gitu, kayaknya jadi makin manis banget. Apalagi, dia itu kan lembut
dan romantis ‘abis’. Jadi model rambutnya kelihatan cocok banget sama
karakternya. Wuaah… pokoknya potongan rambutnya tuh TOP banget deh!”
Sebenarnya
seluruh kelas juga tahu apa film favorit Vivin yang membuatnya tergila-gila dan
berapi-api tiap kali menceritakannya. Malahan banyak dari temen ceweknya yang
jadi terpengaruh dan datang ke rumahnya untuk main sekaligus menyaksikan video
film itu, karena Vivin seringkali merekam film yang saat itu diputar di TV.
Bahkan kalau ada yang tertinggal salah satu episode-nya, mereka akan minta
Vivin untuk menceritakannya dengan detail.
* * *
Selang beberapa minggu… Lho? Rambut Indra kok jadi mirip… ARCHIE???
“La… loe ngerasa nggak sih… kalau rambut Indra beberapa minggu ini jadi
makin mirip Archie?” tanya Vivin pada Stella saat mereka berdua mengobrol lagi
waktu pelajaran kosong.
Cewek berwajah Indo-Belanda itu memperhatikan Indra yang ‘lagi-lagi’
tampak berseliweran di dekat bangku tempat mereka duduk. Mata Stella langsung
membelalak sambil menatap Vivin. “Iya, kok jadi mirip gitu ya?”
Vivin mengernyit sambil mengangkat bahunya. “Gue juga heran, kenapa dia
bisa ngerubah potongan rambutnya dan membiarkannya panjang kayak Archie.”
Stella tersenyum. “Berarti asyik dong, loe bisa lihat Archie di dunia
nyata,” ujar Stella sambil terkikik.
“Iya… bagus juga sih. Tapi…”
“Tapi kenapa?” tanya Stella heran.
“Bukannya ketentuan sekolah kita nggak boleh manjangin rambut kayak
gitu?”
Stella kembali memperhatikan Indra dari kejauhan, saat cowok itu sedang
berlari mengejar temannya (kayaknya nih cowok seneng banget main kejar-kejaran
sama temennya deh ^_^ ).
“Ah…cuma panjang seleher. Nggak begitu keliatan kok. Lagipula selama ini
dia juga nggak ditegur kan?” Stella balas bertanya.
“Iya sih…” Lagi-lagi Vivin mengiyakan ucapan sahabatnya itu. Namun dalam
hatinya dia merasa nggak yakin kalau Indra akan selamanya bebas dari teguran.
Dan benar saja, tiba-tiba seorang guru masuk kelas. Beliau adalah guru
BP yang bernama Ibu Lita. Dengan logat khas daerahnya, ia langsung menyuruh
anak-anak yang ribut dan mondar-mandir agar menempati bangkunya masing-masing.
Tak berapa lama, mereka semua langsung terdiam dan duduk tenang.
“Kalian ini… kalau tak ada guru, belajarlah kalian semua. Jangan tak ada
guru, kau main-main di luar. Mondar-mandir macam setrikaan,” ujarnya kesal. Ia
memandang berkeliling. “Hei… kau…” tunjuknya ke arah bangku yang tak jauh dari
Vivin.
Vivin dan teman-temannya mengarahkan pandangan ke bangku nomor tiga dari
belakang. Hah! Yang ditunjuk itu… Indra!
“Sini… Maju dulu kau,” suruh Bu Lita pada Indra.
Indra maju ke depan sambil senyum-senyum nggak
jelas, tapi sebenarnya seluruh teman sekelas tahu kalau Indra pasti sangat panik.
“Kau ini… ganteng-ganteng, tapi rambut kau… macam mana ini?” ujar Bu
Lita sambil menyibak rambut keren Indra.
Duh! Vivin rasanya ingin tutup mata,
karena nggak tega ngeliat Indra yang mungkin bakal dihukum. Apalagi teman-teman
semua menertawakannya. Kasihan dia…
“Besok, kau harus sudah potong ini rambut. Jangan sampai besok Ibu lihat
kau masih pakai rambut model gini,” ancam Bu Lita yang meski nada suaranya
tidak menakutkan, tapi sebenarnya ngeri juga kalau memikirkan konsekuensi jika
melanggar ucapannya.
* * *
Keesokan harinya, Indra sudah MEMOTONG rambutnya! Hiks… rambut
‘Archie’-nya hilang deh… Tapi, daripada dia dimarahi nanti, dan dihukum pula.
Wah… akan lebih kasihan lagi.
Hari itu, Jeany yang seperti biasa sedang sibuk dengan hitungannya,
tiba-tiba membalikkan badannya ke arah bangku belakang. Di sana ada Dimas yang
memang duduk tanpa teman sebangku alias sendirian.
“Dimas, nomor 3 gimana sih?” tanya Jeany sambil menyiapkan kertas
berikut pena untuk minta penjelasan pada Dimas yang memang pintar. Vivin ikut
membalikkan badannya. Tak lama kemudian, Dimas pun memberi penjelasan layaknya
seorang guru pada mereka berdua. Tiba-tiba Indra langsung pindah dari bangkunya
ke bangku Dimas. Ia pun ikut-ikutan nimbrung dengan ketiga orang itu dengan
pembahasan hitungan yang susahnya selangit!
* * *
Dasar sial! Kenapa gue harus terlambat pas
pelajaran Bu Ida sih? gerutu Vivin dalam hati saat berjalan menuju
kelasnya.
Bu Ida memang menakutkan! Dia sih nggak akan memarahi atau menghukum
siswa yang telat. TAPI… dia hobby sekali menyuruh siswa untuk mengerjakan soal
matematika di papan tulis. Dan itulah yang membuat murid-murid takut. Karena
kalau saat disuruh hasil hitungannya salah atau nggak bisa mengerjakan, maka
murid tersebut harus menyelesaikannya sampai hasil hitungan itu benar! Ngeri
kan?
Vivin takut,
kalau terlambat nanti ia akan terlihat menyolok saat memasuki kelas. Selama ini
sih ia bebas dari suruhan Bu Ida untuk maju ke depan menyelesaikan soal. Tapi sekarang…
saat terlambat seperti ini, bisa saja Bu Ida iseng menyuruhnya. Siapa tahu,
hitung-hitung sebagai hukuman gitu… Hiiy… takuuut!
Perlahan Vivin mengetuk pintu dan ketika dilihatnya Bu Ida sedang
tertunduk di mejanya, ia menanti beliau mengangkat kepalanya. Bu Ida memang
suka menelungkupkan kepalanya di atas meja sambil menunggu murid menyelesaikan
soal. Seperti saat ini, ketika dilihatnya Emy—teman sebangku Stella—nampak
mengerjakan soal di papan tulis.
Karena Bu Ida tak kunjung mendengar ketukan di pintu, seluruh teman
sekelas memberi ‘kode’ pada Vivin untuk segera memasuki kelas. Tangan mereka
semua melambai pada Vivin untuk segera masuk sebelum Bu Ida menyadari
kedatangannya. Dengan nekad, Vivin pun masuk kelas sambil mengendap-endap. Ia
segera duduk di bangkunya, bangku nomor dua dari depan.
Tapi… huaaa! Jeany nggak ada! Dia kemana??? seru Vivin
dalam hati dengan panik. Karena tanpa Jeany, ia rasanya jadi makin ‘stress’.
Tiba-tiba teman-teman cowok di belakang berbisik memanggilnya. Vivin menoleh ke
belakang setelah sebelumnya melihat ke arah Bu Ida yang masih tertelungkup di
mejanya.
“Apaan?” bisik Vivin.
“Duduk di sini aja, Vin,” bisik Romero sambil menunjuk bangku kosong di
sebelah Indra. Vivin mengernyit. Lho? Bukannya Romero seharusnya duduk di
sebelah Indra? Kenapa dia malah pindah ke belakang bangku Indra dan nyuruh gue
duduk bareng Indra?
Karena Vivin tak kunjung bergeming dari bangkunya, Dimas yang duduk di
belakangnya ikut berbisik,“Cepetan Vin, pindah aja ke sebelah Indra. Nanti loe
disuruh ngerja’in soal di depan loh.”
“Iya, tadi kan nama-loe dipanggil sama Bu
Ida. Loe disuruh ngerja’in soal, cuma tadi loe belum dateng. Ntar kalo loe
duduk di depan gitu, loe kena tunjuk suruh maju ke depan loh,” bisik yang
lainnya dengan nada menakuti.
Mendengar itu, Vivin langsung takut setengah hidup. Secepat kilat ia
langsung menuju bangku Indra dan… duduk di sebelahnya. Bersamaan dengan itu
pula, Bu Ida langsung mengangkat kepalanya dan melihat hasil pekerjaan Emy di
papan tulis. Ia pun berjalan ke depan dan memeriksanya. “Yak… benar.”
Sebentar kemudian, wanita berjilbab itu mulai menunjuk lagi. Fiuuh…
untung bukan gue, ujar Vivin dalam hati dengan lega. Bahkan nampaknya Bu
Ida nggak menyadari kalau Vivin terlambat.
Seperti tadi, Bu Ida kembali duduk dan menelungkupkan kepalanya di meja
sambil menunggu murid selanjutnya mengerjakan soal di papan tulis. Saat itu
juga, Vivin mendengar suara Romero di belakangnya. “Bener kan, Vin? Tadi tuh loe yang ditunjuk. Coba
kalo loe duduk di depan, pasti bakal kena tunjuk,” katanya lagi. “Makanya duduk
di sini aja terus,” tunjuknya pada bangku yang diduduki Vivin di sebelah Indra.
Vivin menoleh ke arah Romero yang duduk di belakang Indra sambil
tersenyum, meski padahal saat itu Vivin sangat panik! Vivin melirik arlojinya,
hmm… sepertinya soal ini akan lama dikerjakan. Dan itu berarti… ia bisa
iseng melirik ke arah orang yang duduk di sebelahnya. Dengan kata lain, ke arah
Indra. Sebenarnya Vivin agak risih, karena sejak tadi teman-teman cowoknya
terus menggoda Indra. Apa Indra…?
Pikirannya terhenti ketika tiba-tiba Indra menyodorkan kertas pada
Vivin. Isinya… hah? Soal-soal matematika!
“Eung… Vin, ini gimana sih?” tanyanya sambil
senyum-senyum nggak jelas.
Vivin langsung ‘stress’. Please deh… gue ditanya matematika?! Ampuuun! Namun Vivin berusaha untuk tenang.
“Aduh, ‘Ndra… loe salah alamat deh kalo tanya ini sama gue. Gue tuh
paling nggak bisa itung-itungan,” jawab Vivin jujur.
Indra hanya tersenyum dan menunduk.
Duh! Yang bener aja… Masa’ dia yang jelas-jelas lebih pinter dari gue
soal hitungan, malah nanya sama gue? jerit Vivin dalam hati.
“Emang itu apa sih?” tanya Vivin setelah berhasil
meredakan keheranannya.
Lagi-lagi Indra tersenyum malu. “Ooh… ini tes susulan. Kan gue sakit
waktu itu,” jawabnya lembut.
Vivin berpikir sejenak. Oh iya, ya… kayaknya nih anak agak-agak
‘rentan’ gitu deh badannya akhir-akhir ini. Makanya beberapa kali sempat absen.
Tapi sepertinya nggak ngaruh deh, nilai-nilainya tetep bagus.
“Ehm… ehmm…” terdengar deheman beberapa teman cowoknya selama Vivin dan
Indra mengobrol. Mereka ngapain sih? pikir Vivin bingung.
* * *
Dari hari ke hari, begitu seterusnya. Selama ini
gerak-gerik teman-teman cowok sangat mencurigakan. Mereka seperti mendorong
Indra untuk melakukan sesuatu.
Seperti saat ini, Indra tiba-tiba saja pindah duduk tepat di belakang
bangku Vivin. Berarti ia duduk bersama Dimas untuk selamanya.
Vivin, Jeany, Dimas dan Indra pun akhirnya sering mengobrol ataupun
mendiskusikan pelajaran.
“Eh, Vin… kita kan
bakal ke Veldroom untuk olahraga hari Minggu,” ujar Jeany membuka
pembicaraan—saat mereka sedang mengobrol berdua—tanpa membalikkan badan ke arah
dua cowok di belakang mereka alias Dimas dan Indra.
“Oh ya? Wah… asyik dong! Moga-moga aja SMA-nya ‘dia’ juga olahraga di Veldroom
besok Minggu,” harap Vivin dengan gembira.
“Gebetan-loe itu ya?” tanya Jeany antusias.
“He-eh…” Vivin mengangguk pasti.
Jeany tersenyum. “Nanti kasihtahu gue ya,” ujarnya.
Dan Vivin pun kembali mengangguk sambil tersenyum.
* * *
Veldroom… Stadion olahraga yang terletak di
kawasan Rawamangun ini memang selalu digunakan para murid sekolah untuk
olahraga. Sejak SMP, Vivin juga sering menggunakan tempat ini untuk olahraga
terutama untuk pengambilan nilai lari jarak jauh. Meski capek, tapi anak-anak langsung
semangat ’45 kalau ingat di seberang stadion ini ada Arion Plaza.
Maklum… setelah olahraga, hampir semua anak pasti menyempatkan diri jalan-jalan
ke sana.
Sampai di Veldroom, Vivin celingukan mencari-cari rombongan SMA
‘gebetan’nya.
“Vin!” Tiba-tiba didengarnya suara dua orang cewek
memanggilnya. Terlihatlah Merry dan Vita, temannya saat SMP dulu. Mereka juga
satu SMA, hanya saja berbeda kelas dengan Vivin.
Dua teman lamanya itu menghampiri Vivin dengan bahagia sambil
memeluknya. “Eh, SMA Satya Kelana juga ada loh,” ujar Vita bersemangat.
“Iya, dari tadi kita udah cari-cari dia tapi nggak ada,” timpal Merry.
“Gimana sih, first love-loe itu,” ujar Vita lagi. “Males olahraga
ya?”
“Yah… dia lagi jalan-jalan sama temennya kali, jadi bolos,” kata Vivin
sekedarnya, padahal dia sebenarnya sangat kecewa. Dia udah lama banget nggak
ketemu Rommy sejak kelulusan SMP. Hiks… Meski nggak janjian—tapi Vivin berharap
banget—secara nggak sengaja mereka bisa ketemu lagi. Mulanya ia berpikir,
dengan kebersamaan jadwal olahraga SMA-nya dan SMA Rommy di Veldroom,
itu berarti Tuhan hendak menggariskan pertemuan mereka kembali. Tapi, nyatanya…
“SMA Satya Kelana ya?” Jeany tiba-tiba datang dengan tergopoh-gopoh
menghampiri mereka bertiga. “Mereka udah mulai sejak jam 8 pagi. Sekarang udah
jam 10, jelas aja mereka udah pada bubar. Paling sisanya cuma yang terlambat.”
Vivin langsung lemas. “Yaah… kenapa sih kita olahraganya nggak jam 8
pagi aja, malah baru mulai jam 10,” keluh Vivin BeTe.
“Iya… karena kalo jam 8, loe bakal telat,” goda Vita sambil cekikikan.
Semuanya ikut tertawa, tapi… eits… Vivin merasa ada sepasang mata yang
sedang memandanginya. Ternyata Indra! Dia duduk nggak jauh dari tempat Vivin
dan ketiga temannya berdiri saat ini.
Duh… kira-kira dia denger pembicaraan tadi nggak, ya? pikir Vivin.
* * *
Hari ini pelajaran olahraga lagi. Tapi Vivin lagi
nggak enak badan. Biasa… penyakit bulanan membuatnya kurang nyaman dan kondisi
kesehatannya jadi nggak begitu baik. Jadi, dia minta izin nggak ikut olahraga.
Selain Vivin, ada juga beberapa teman yang nggak ikut olahraga. Dan… hei…
Indra ternyata nggak olahraga juga! Setahu Vivin, kemarin dia memang habis sakit.
Akhirnya mereka yang nggak ikut olahraga malah mengikuti permainan tebak
huruf yang diajarkan Vivin, termasuk Indra. Hehehe… dia bisa juga diajak
main kayak ginian yah? Kira’in orang pendiam dan pemalu nggak minat sama
permainan kayak gini ^_^
Setelah jam olahraga selesai, mulai berdatanganlah teman-temannya ke
dalam kelas untuk mengambil pakaian seragam dan berganti pakaian di tempat
ganti. Indra menghentikan permainan hurufnya dan menghampiri teman-temannya
yang baru saja memasuki kelas. Sedangkan Vivin masih tetap bermain huruf
bersama Coky, salah satu cowok di kelas yang anaknya asyik banget diajak
ngobrol.
Saat istirahat, ketika semua teman keluar untuk
jajan, Vivin melanjutkan permainan tebak hurufnya dengan Stella dan Coky.
Tiba-tiba saat Vivin sedang menuliskan beberapa huruf di papan tulis, Coky
menghampirinya. “Vin, loe suka nggak sama Indra?” tanyanya langsung.
Hah? Vivin terkejut setengah mati! Ia nggak pernah berpikir akan dapat
pertanyaan seperti itu. Namun dengan tenang ia menjawab,”Dia kan temen gue,
jadi nggak mungkin lah gue suka sama dia.”
“Soalnya kalo loe suka juga, eng… ”
Coky menghentikan ucapannya.
“Kenapa?” tanya Vivin heran.
“Eh, nggak kok… nggak apa-apa.” Coky cengengesan.
“Gue nggak mungkin suka sama Indra, soalnya… gue udah suka sama orang
lain,” tegas Vivin.
“Siapa?” tanya Coky menyelidik.
Vivin hanya tersenyum. “Orangnya nggak ada di sini.
Dia ada di SMA lain.”
“Yaah… sayang ya… padahal loe mau dijodohin sama
Indra loh,” ujar Coky dengan nada putus asa.
Hah?! Vivin melongo. Tunggu dulu…
Kok dia rasanya agak ‘nyesel’ sih? Kenapa ya?
*
* *
Sehari berlalu sejak pertanyaan mengejutkan itu.
Kali ini, seperti biasa Vivin dan Jeany sedang asyik mengobrol di bangkunya
sambil mengerjakan tugas dari guru,
karena lagi-lagi guru tersebut berhalangan hadir. Sementara dua “makhluk” di
belakang—yang tak lain adalah Dimas dan Indra—juga nampak sibuk mengerjakan
tugas tersebut.
Tiba-tiba didengarnya suara pelan Indra. Meski pelan, tapi masih bisa
terdengar oleh Vivin. “Yaah… gimana dong… katanya dia udah suka sama cowok
lain,” keluhnya.
“Loe yakin?” Kali ini terdengar suara pelan Dimas.
“Iya. Soalnya udah ditanya’in kemarin sama Coky,” terdengar suara Indra
lagi.
Tiba-tiba… “Eh, Dimas… ini gimana sih?” Suara Jeany langsung menyeruak
obrolan mereka, sehingga Vivin jadi nggak bisa mendengar kelanjutannya—karena
Dimas dan Indra langsung menghentikan ucapannya begitu Jeany diiringi Vivin
membalikkan badan ke arah bangku mereka.
* * *
“Vin, gue duduk sama loe ya?” ujar Emy sambil
langsung meletakkan tasnya di bangku sebelah Vivin. “Kebetulan temen sebangku
kita sama-sama nggak masuk nih,” kata Emy lagi sambil nyengir. “Lagipula selain
pas pulang bareng, jatah ngobrol kita kan bisa nambah.”
Vivin mengangguk sambil tersenyum memandang sahabat sekaligus teman satu
jurusan naik angkot-nya saat pulang sekolah itu. “Boleh… gue seneng banget kita
akhirnya bisa duduk berdua.”
Mereka pun ber-‘curhat ria’ sambil menunggu kedatangan guru. Emy curhat
tentang gebetan-nya dan Vivin curhat tentang Indra.
“Menurut-loe, Indra itu gimana sama gue?” tanya Vivin dengan bingung.
Tiba-tiba guru
datang. Mereka pun langsung terdiam dan mengeluarkan PR. Bagi yang tidak
mengerjakan PR, harus maju ke depan kelas. Dan… tak lama kemudian berderetlah
para cowok berdiri di depan kelas. Mereka malas semua sih… hehehe… Tapi,
loh… kok Indra ada di antara mereka? Dia kan biasanya rajin banget! Masa’ sih,
kali ini dia nggak ngerja’in PR? Dia lagi kenapa ya? pikir Vivin heran.
Entah kenapa, Vivin jadi salah tingkah. Habisnya,
semua teman Indra menyuruh Indra untuk berdiri tepat menghadap bangku Vivin.
Alhasil, Vivin pura-pura membaca buku. Terdengar olehnya, sang guru memberi
nasehat pada mereka yang tidak mengerjakan PR. Cukup lama juga ternyata nasehatnya… dan cukup lama juga bagi Vivin
untuk harus ‘mendapati’ dirinya berhadapan dengan Indra, meski jarak itu
dipisahkan oleh meja di depan Vivin.
“Iya, Vin… kayaknya Indra emang suka sama loe. Abis, dari tadi
ngeliatiiin mulu,” bisik Emy sambil tersenyum menggoda Vivin.
“Aah… masa’ sih?” tanya Vivin nggak percaya. “Nggak mungkin kalee.”
“Bener deh!” Emy meyakinkan. “Mata tuh nggak bisa bohong loh.”
Vivin sebenarnya agak tersanjung (psst… ‘tersanjung’ sama ‘GeeR’ beda
loh ^_^). “Yaah, gimana… gue udah suka orang lain sih…”
Emy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jelas, dia tuh keliatan
banget loh suka sama loe.”
Saat pelajaran itu usai, terdengar suara seorang
cowok dari bangku belakang,“Deu… Indra padahal ngerja’in PR tuh, tapi kok ikut
maju ke depan ya?”
Hah? Dia ngerja’in PR? Ngapain dia ngaku nggak ngerja’in dan ikut
berdiri? Vivin makin ‘lieur’ (pusing).
* * *
Berkali-kali “kebetulan” yang terjadi antara Indra
dan Vivin, membuat teman di sekitarnya mendukung mereka. Tapi gimana? Vivin
bener-bener nggak bisa ngelupa’in first love-nya.
Hari ini pelajaran FISIKA. Entahlah… saat istilah ‘aksi – reaksi’
dijelaskan oleh guru, terdengar omongan tajam dari cowok-cowok di kelasnya.
“Tuh, ‘Ndra… dengerin… Kalo ada aksi, seharusnya ada reaksi!”
Vivin merasa, ucapan ini sengaja ditujukan untuk menyindirnya.
Teman-teman Indra sepertinya tahu, bahwa Vivin selama ini bersikap cuek dengan
segala aksi yang dilakukan Indra. Tapi, apa ini salah Vivin? Bukankah kalau
kita nggak suka, seharusnya kita memang nggak memberi harapan?
* * *
Tak terasa waktu berlalu… Di kelas yang baru, Vivin
berpisah dengan Jeany, Emy, dan Stella. Karena tiga teman ceweknya itu
berpencar ke kelas lain, ke jurusan IPA. Sementara di jurusan IPS—Vivin bertemu
Ira dan Sekka—yang kemudian juga menjadi sahabatnya. Kisah tentang dirinya dan
Indra pun diceritakan pada dua sahabatnya itu. Bagaimana sebenarnya perasaan
Vivin pada Indra akhirnya?